Parapuan.co - Kawan Puan, kamu mungkin familier dengan sosok Greta Thunberg, seorang aktivis berusia 18 tahun yang aktif dalam berbagai kampanye lingkungan.
Namun, tahukah kamu bahwa Indonesia juga memiliki aktivis cilik yang aktif dalam berbagai kegiatan terkait lingkungan?
Adalah Aeshnina Azzahra Aqilani, seorang pelajar asal Gresik, Jawa Tengah yang baru-baru ini viral usai sebuah media di Jerman, Die Zeit, menulis tentangnya.
Dipublikasikan pada Kamis (4/11/2021), media mainstream itu menulis artikel bertajuk Ws Greta kann, kann ich auch! yang berarti Apa yang Bisa Dilakukan Greta, Saya Juga Bisa!
Ya, ketika membicarakan tentang aktivis cilik, kamu mungkin akan teringat dengan sosok aktivis lingkungan asal Stockholm, Swedia itu.
Baca Juga: Mengenal Bu Kasur, Pencipta Lagu dan Tokoh Pendidikan Anak Indonesia
Pidato di Plastic Health Summit 2021
Akrab disapa Nina, pelajar asal SMP Negeri 12 Kabupaten Gresik ini belum lama ini juga mencuri perhatian usai berpidato di acara Plastic Health Summit 2021.
Dalam acara yang digelar di Amsterdam, Belanda pada 12 Oktober 2021 itu, Nina juga menjadi salah satu narasumber di sana.
Ia hadir bersama para pegiat lingkungan dan akademisi dari berbagai belahan dunia.
Di antara narasumber lain yang sudah memegang gelar profesor dan doktor, pelajar kelahiran Sidoarjo, 17 Mei 2007 itu tampak sangat menonjol.
Hal itulah yang membuat media Die Zeit pada akhirnya terpukau dan mengangkat kisah salah satu anak bangsa ini, Aeshnina Azzahra.
Awal mula ketertarikannya dengan isu lingkungan
Awal mula perempuan yang saat ini sedang mengikuti Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 (COP26 Glalow) itu tertarik akan isu lingkungan adalah karena kondisi lingkungan sekitarnya.
“Saya tertarik untuk mengampanyekan sampah impor karena saya sebagai anak muda Indonesia tidak terima jika tempat tinggal saya dijadikan tempat sampah,” ujar Nina, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (27/11/2021).
“Apalagi untuk negara maju yang memiliki fasilitas yang lebih layak daripada Indonesia,” lanjutnya.
Gadis berusia 14 tahun itu mengatakan, pabrik kertas di Indonesia menerima impor kertas dari negara maju untuk kemudian didaur ulang.
Akan tetapi, hal yang ia sayangkan, negara maju justru menyelundupkan sampah plastik dalam sampah kertasnya.
Baca Juga: Sosok Fientje Suebu, Perempuan Papua Pertama yang Menjadi Dubes Indonesia
Akibatnya, ketika pabrik kertas mengambil sampah kertasnya, sisa sampah plastiknya akan dibuang ke desa yang terletak di sekitar pabrik tersebut.
Salah satu desa yang disebutkan oleh Nina adalah Desa Bangun, desa terbesar yang kerap menerima sampah plastik dalam jumlah terbesar se-Jawa Timur.
“Karena banyak dari penduduk desa adalah petani, sambil menunggu panen mereka bekerja untuk memilah sampah plastik impornya,” kata Nina.
Dalam proses daur ulang sampah tersebut, masalah lingkungan yang berdampak pada manusia dan hewan pun kerap terjadi, seperti gas beracun dan gas rumah kaca dari hasil pembakaran sampah yang tidak laku.
Hal tersebut membuat gadis yang saat ini masih duduk di bangku SMP itu geram dan tidak terima.
“Saya merasa tidak terima, ini tidak adil. Ini sampah negara maju yang kaya, kok, yang merasakan dampaknya kami, orang Indonesia,” imbuhnya.
Tulis surat ke Donald Trump sampai Angela Merkel
Pada 2019 lalu, Nina juga pernah menarik perhatian usai memberanikan diri menulis surat ke Presiden Amerika Serikat saat itu, yakni Donald Trump.
Rupanya, jauh sebelum itu Nina juga pernah mengirim surat ke Bupati Gresik tentang kerusakan lingkungan di dekat tempat tinggalnya.
Saat itu, Nina bahkan baru duduk di bangku kelas 5 SD, lho, Kawan Puan.
Lebih lanjut, Nina juga pernah mengirim surat ke Kanselir Jerman, Angela Merkel; Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte; Menteri Infrastruktur dan Pengelolaan Sumberdaya Air Belanda, Barbara Visser.
Baca Juga: Profil Menteri PPPA Bintang Puspayoga, Perempuan Bali Pertama di Kabinet
Selain menulis surat protes ke orang-orang tersebut, ia juga pernah mengadakan aksi demo di depan gedung konsulat Amerika bersama teman-temannya serta Ecoton.
Ecoton adalah sebuah organisasi yang bergerak di bidang hukum lingkungan.
Dari aksi itu, seorang pembuat film asal Jerman yang membaca kisah Nina pun tertarik untuk membuat film dokumenter.
Film berjudul Girls for Future atau kinder de klimaat dalam bahasa Jerman itu menceritakan kisah empat anak perempuan asal India, Afrika, Australia, dan Indonesia yang berusaha melawan krisis iklim.
“Banyak orang yang termotivasi, terinspirasi, ada penonton yang menangis,” ungkap Nina saat menceritakan suasana usai film dokumenter itu diputar di COP26.
Dukungan dari keluarga
Di balik sosok inspiratif, tentunya terdapat orang terdekat di baliknya yang mendukung mereka.
Begitu pun dengan Nina, di mana pencapaiannya tak lepas dari dukungan kedua orang tuanya.
Sang ayah, Prigi Arisandi, merupakan Direktur Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), seorang aktivis pelindung sungai.
Sementara itu, ibunya, Daru Setyo Rini, merupakan Manajer Program Ecoton.
“Orang tua saya adalah aktivis pelindung sungai. Jadi saya dari kecil diajarkan untuk mencintai dan menjaga lingkungan,” ulas perempuan yang bermimpi menjadi menteri lingkungan hidup dan kehutanan itu.
Baca Juga: Sosok hingga Perjalanan Karier Velove Vexia yang Tak Terekspos Media
Adapun beberapa isu lingkungan yang paling Nina minati, adalah perubahan iklim, sampah plastik, dan sampah impor.
Tak heran, ia pun dijuluki Polisi Sampah oleh teman-temannya lantaran sering memberikan peringatan untuk tidak menggunakan sampah plastik sekali pakai.
Kawan Puan, itulah kisah Nina, seorang pelajar asal Gresik yang tak hanya menginspirasi anak muda di seusianya, tetapi juga orang-orang yang berusia jauh di atasnya. (*)