Parapuan.co – Kawan Puan, ada sebuah pepatah Jawa yang berbunyi, “Jalma angkara mati murka,” yang kira-kira artinya kemarahan mengantarkan manusia pada kemalangan atau celaka.
Pesan pepatah itu memiliki arti tentang sebuah anjuran untuk tidak menuruti amarah.
Anjuran untuk menahan amarah bukan hanya terdapat pada masyarakat Jawa, melainkan juga di banyak kebudayaan lain, termasuk dalam ajaran agama.
Namun seperti yang kita ketahui bahwa menahan amarah itu tidak menuruti amarah atau terbawa amarah bukanlah hal yang mudah.
Hal tersebut juga dijelaskan dalam buku How to Keep Your Cool karya Seneca.
Baca Juga: 3 Dampak Buruk Terlalu Sering Menyembunyikan Perasaan Emosional
Buku How to Keep Your Cool tersebut dibuka dengan satu kutipan provokatif dari Seneca, “Kemarahanmu adalah sejenis kegilaan, karena kau menetapkan harga tinggi untuk hal-hal tak berharga.”
Kawan Puan, amarah sering menjadikan kita tidak bisa berpikir jernih, kemudian kita memberi respons besar dan gila-gilaan terhadap sesuatu yang sebetulnya tidak penting-penting amat.
Dalam kata pengantar buku ini, James Romm memberi pertanyaan yang menarik untuk dipikirkan.
“Apakah benar-benar penting bahwa seseorang tidak menghormatimu, sepenting masalah perubahan iklim global? Atau ancaman perang nuklir? Atau fakta bahwa bintang-bintang runtuh ke dalam lubang hitam di bagian lain galaksi kita, menelan segala yang ada di sekitarnya?”
Penjajaran hal sehari-hari dengan hal-hal serbabesar adalah salah satu cara, yang sekaligus merupakan siasat favorit Seneca, untuk mengelola amarah.
Tentunya hal tersebut harus dimulai lebih dulu dengan menyadari muasal amarah.
“Penyebab amarah adalah perasaan tersakiti,” tulis Seneca.
Kita mengerti, orang bisa marah karena perkara yang beragam: diejek, disenggol sampai jatuh, diserobot antreannya, dinyinyiri oleh warganet yang bahkan kita tidak kenal dia siapa, dan sebagainya.
Namun, inti dari semua sebab itu adalah perasaan tersakiti, persis seperti yang dibilang Seneca.
Lantas bagaimana kita sebaiknya merespons perasaan tersakiti itu supaya tidak berlanjut menjadi amarah?
“Jangan langsung bertindak, bahkan terhadap sesuatu yang tampak jelas dan sederhana; terkadang kepalsuan tampil sebagai kebenaran... dan kita menjadi marah sebelum menggunakan daya penilaian kita,” kata Seneca.
Sering terjadi, orang marah karena sesuatu yang ternyata salah paham, ternyata bukan hal yang sewajarnya menyulut amarah.
Baca Juga: 7 Tanda Seorang Introvert Sedang Marah, Salah Satunya Menghindar!
Lalu, rasa malu biasa muncul setelah itu, bahwa orang sadar dengan marah ia melakukan hal gegabah.
Sering juga, rasa malu itu direspons dengan amarah yang lain lagi, yang muncul dari denial, dari penyangkalan dia sendiri.
Amarah bisa mendatangkan masalah berkepanjangan, jauh lebih panjang dari yang kita kira. Maka, sekali lagi: jangan marah, pokoknya, jangan marah— jangan memulai masalah!
Lantas bagaimana kalau orang lain benar-benar ingin menyakiti (perasaan) kita? Bagaimana kalau orang lain memang meniatkan hal buruk terhadap kita, betul-betul, tanpa sedikit kesalahpahaman pun?
Seneca menjawab, “Jika orang jahat melakukan hal-hal jahat, adakah yang mengejutkan?”
Seneca menyarankan untuk berpikir segalanya mungkin terjadi, dan dengan itu, kita mesti mengantisipasi segalanya.
Semua orang, sebaik dan semulia apa pun ia, sangat mungkin disakiti orang lain. Tidak ada orang yang tidak pernah dan tidak akan tersakiti orang lain. Kita tahu itu.
Apakah perlu marah jika kita disakiti? Tidak perlu. Apakah boleh membalas tindakan orang yang menyakiti kita? Tentu saja.
Baca Juga: Jika Pasanganmu Marah Coba Atasi dengan 4 Cara Ini, Apa Saja?
Pilihan untuk mengelola amarah menjadikan kita dapat berpikir lebih jernih dan bersikap lebih bijak.
Maka, ketika kita perlu membalas tindakan orang yang menyakiti kita, balasan itu akan pantas dan tepat.
Nah jika Kawan Puan ingin mengetahui lebih lanjut tentang berdamai dengan amarah dalam buku How to Keep Your Cool ini, kamu bisa memilikinya dengan klik tautan berikut.
Yuk belajar berdamai dengan amarah agar kita bisa lebih menikmati hidup! (*)
Ditulis oleh: Udji Kayang, Penerbit KPG