“Masih banyak penyandang disabilitas tidak mendapatkan pendidikan mengenai seksualitas, sehingga pemahaman mereka untuk hal mendasar, seperti pengertian istilah-istilah seputar seksualitas pun tidak mereka dapatkan.
"Kurangnya pengetahun juga sering mengakibatkan teman-teman disabilitas menjadi korban kekerasan seksual. Menurut penelitian kami tahun lalu, miskonsepsi
teman-teman tuli tentang HIV/AIDS masih sangat tinggi. Dari 85 orang yang kami survei, hanya sekitar 30% yang tahu tentang AIDS”, papar Nissi.
Ni Putu Candra pun mengungkapkan, bahwa selama ini sudah ada usaha dari berbagai kelompok untuk menjembatani ketimpangan pemenuhan HKSR bagi disabilitas, meski baru segelintir dan belum terstruktur.
Baca Juga: Masih Sering Salah, Virus HIV Tidak Menular Melalui 9 Cara Ini
Putri Widi menambahkan, tidak meratanya pendidikan seks ditambah minimnya akses terhadap fasilitas kesehatan juga menjadi salah satu faktor pendorong terus meningkatnya angka kasus HIV/AIDS di negeri ini.
“Hal pertama yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan kita semua adalah mengakui adanya kesenjangan tersebut.
"Setelah itu, dilakukan langkah-langkah nyata untuk pemenuhan HKSR bagi semua orang, alias inklusif. Untuk menjadi benar-benar inklusif, harus melibatkan mereka yang termarjinalkan atau pun bisa dikatakan tidak diuntungkan oleh sistem, contohnya orang dengan disabilitas,” jelas Putri Widi.
Dari diskusi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa misi mewujudkan Indonesia tanpa HIV/AIDS 2030 seperti yang dicanangkan pemerintah Indonesia dapat terwujud jika semua pihak turut serta dalam memenuhi hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi setiap individu.
Hal ini selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan PBB, yaitu Leave No One Behind, yang mensyaratkan semua lapisan masyarakat tidak ada yang ditinggalkan dalam proses pembangunan yang inklusif dan partisipatif.
(*)