Parapuan.co - 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia.
Hal tersebut menjadi pengingat pada kita akan pentingnya menjaga kesehatan seksual dan reproduksi.
Pasalnya, penyakit ini termasuk penyakit yang cukup berbahaya dan mematikan.
Memperingati Hari AIDS Sedunia 2021, digelar diskusi yang menyoroti perjalanan panjang pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) inklusif untuk menekan angka kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Baca Juga: Minimkan Risiko Bayi Tertular, Ini Panduan Merencanakan Kehamilan untuk Perempuan dengan HIV
Diskusi yang dilaksanakan pada 1 Desember 2021 secara virtual ini menghadirkan empat pembicara; Putri Widi, dr., MSc., seorang dokter dan peneliti sekaligus aktivis kesetaraan gender dan kesehatan global, Devi Asmarani, selaku Co-Founder dan Chief Editor Magdalene, media online berperspektif gender, Ni Putu Candra, seorang pengacara HAM yang juga pendiri Bumi Setara, serta Nissi Taruli Felicia, pendiri kelompok feminis tuli FeminisThemis.
Devi Asmarani mengungkapkan adanya ketimpangan pelaksanaan pendidikan seks di Indonesia.
“Ketimpangan dalam pemenuhan HKSR di Indonesia masih terjadi akibat pembahasan tentang edukasi seks di masyarakat yang kerap dianggap tabu.
"Materi yang fokus pada seksualitas, consent, dan isu lain, seperti relasi gender masih sangat minim karena di level penentu kebijakan belum ada keberanian untuk menerapkan kurikulum formal pendidikan seksualitas yang komprehensif, mengingat masih tingginya persepsi yang mengaitkan seksualitas dengan moralitas”, papar Devi, seperti dikutip dari rilis yang diterima PARAPUAN.
Nissi Taruli Felicia menyatakan, dirinya bersama kelompok feminis tuli FeminisThemis menjadi saksi bagaimana usaha penanganan dan pencegahan HIV/AIDS yang tidak inklusif danaksesibel berdampak terhadap penyandang disabilitas di Indonesia.
“Masih banyak penyandang disabilitas tidak mendapatkan pendidikan mengenai seksualitas, sehingga pemahaman mereka untuk hal mendasar, seperti pengertian istilah-istilah seputar seksualitas pun tidak mereka dapatkan.
"Kurangnya pengetahun juga sering mengakibatkan teman-teman disabilitas menjadi korban kekerasan seksual. Menurut penelitian kami tahun lalu, miskonsepsi
teman-teman tuli tentang HIV/AIDS masih sangat tinggi. Dari 85 orang yang kami survei, hanya sekitar 30% yang tahu tentang AIDS”, papar Nissi.
Ni Putu Candra pun mengungkapkan, bahwa selama ini sudah ada usaha dari berbagai kelompok untuk menjembatani ketimpangan pemenuhan HKSR bagi disabilitas, meski baru segelintir dan belum terstruktur.
Baca Juga: Masih Sering Salah, Virus HIV Tidak Menular Melalui 9 Cara Ini
Putri Widi menambahkan, tidak meratanya pendidikan seks ditambah minimnya akses terhadap fasilitas kesehatan juga menjadi salah satu faktor pendorong terus meningkatnya angka kasus HIV/AIDS di negeri ini.
“Hal pertama yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan kita semua adalah mengakui adanya kesenjangan tersebut.
"Setelah itu, dilakukan langkah-langkah nyata untuk pemenuhan HKSR bagi semua orang, alias inklusif. Untuk menjadi benar-benar inklusif, harus melibatkan mereka yang termarjinalkan atau pun bisa dikatakan tidak diuntungkan oleh sistem, contohnya orang dengan disabilitas,” jelas Putri Widi.
Dari diskusi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa misi mewujudkan Indonesia tanpa HIV/AIDS 2030 seperti yang dicanangkan pemerintah Indonesia dapat terwujud jika semua pihak turut serta dalam memenuhi hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi setiap individu.
Hal ini selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan PBB, yaitu Leave No One Behind, yang mensyaratkan semua lapisan masyarakat tidak ada yang ditinggalkan dalam proses pembangunan yang inklusif dan partisipatif.
(*)