Parapuan.co - Sepanjang tahun 2015-2020 Komnas Perempuan menerima 27% aduan kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan.
Data ini diperkuat dengan temuan survei Mendikbud Ristek (2019) bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%).
Penelitian lain menyebutkan bahwa 40 persen dari 304 mahasiswi pernah mengalami kekerasan seksual (Ardi dan Muis, 2014).
Bahkan, 92% dari 162 Responden mengalami kekerasan di dunia siber (BEM FISIP Universitas Mulawarman, 2021).
Lalu, 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus (Survei Ditjen Diktiristek, 2020).
Sedihnya lagi, kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan.
Angka kekerasan tersebut hanyalah angka di permukaan, mengingat bahwa fenomena kekerasan seksual seperti gunung es, yang artinya jauh lebih banyak yang tak tampak dari apa yang dilihat.
Dalam menghadapi darurat kekerasan seksual di lingkungan kampus Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim meneken Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 pada 31 Agustus 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Baca Juga: Mengakhiri Kekerasan pada Perempuan Merupakan Tanggung Jawab Banyak Pihak
Peraturan ini merupakan langkah maju untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan nyaman serta bebas kekerasan seksual.
Sebagai bentuk dukungan terhadap Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, sekaligus memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional yang diperingati pada setiap 25 November, The Body Shop Indonesia dengan semangat aktivisme bersama impact partners ke kampus untuk menjadi bagian dari perjuangan bersama dalam menciptakan kampus bebas dari kekerasan seksual melalui program The Body Shop Goes to Campus pada Rabu (01/12/2021).
Lily Yulianti Farid, Founder & Director Makassar International Writers Festival mengatakan, upaya memberikan edukasi bagi mahasiswa merupakan salah satu strategi yang penting dijalankan.
Selama sudah ada payung hukum yang kuat untuk melindungi kita dari kekerasan seksual, edukasi tetap merupakan komponen paling penting.
Kita juga perlu membentengi diri dari kekerasan seksual. Maka dari itu, kita perlu melindungi diri dan memberdayakan sesama.
"Kami percaya dan perlu bergandeng tangan semua pihak tak terkecuali peran institusi, komunitas termasuk perguruan tinggi bergerak bersama menciptakan kampus yang bebas kekerasan seksual," ujar Lily.
Hal serupa juga disampaikan oleh psikolog MKP Abdi Keraf, S.Psi., M.Si, M.Psi yang memiliki kegelisahan tersendiri terkait isu ini.
Baca Juga: Tanda dan Dampak Kekerasan pada Perempuan Remaja dan Anak, Apa Saja?
Seseorang yang minim pengetahuan tentang seksual kerap kali salah mengartikan.
Lantas, tak bisa dimungkiri, minim pengetahuan akan hal ini di kalangan keluarga salah satunya disebabkan masyarakat kita sangat tabu.
Bahasa kasih, bahasa cinta, dan bahasa emosional merupakan dari bagian pendidikan seksual.
Pengetahuan seksual bukan hanya tentang organ seksual secara ilmiah, tetapi juga tentang perilaku bagaimana kita menunjukkan rasa kasih sayang.
Bagaimana membangun komunikasi dalam keluarga setiap hari juga penting.
“Akar persoalan harus dibangun dari rumah. Jangan pikiran bahwa korban kekerasan seksual itu baik-baik saja. Trauma korban sangat luar biasa," ungkap Abdi.
"Jika tidak mendapatkan perlindungan seperti dia ada di ruangan yang sangat gelap. Mari kita baca new normal ini dalam penanganan kekerasan seksual. Mari kita perangi kekerasan seksual dengan masif,” tambah Abdi.
Selain itu, sosialiasi khususnya ke generasi muda pun perlu dilakukan agar dapat membekali diri dari risiko kekerasan seksual yang mungkin terjadi di lingkungan kampus. (*)