Parapuan.co - Kawan Puan, kasus pemerkosaan 12 santri oleh guru pesantren berinisial HW di Bandung kini memasuki tahap persidangan.
Persidangan yang digelar secara tertutup tersebut dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung.
Jaksa Kejari Bandung, Agus Mudjoko, menceritakan kondisi korban kekerasan seksual tersebut saat menghadiri persidangan.
Kabarnya, salah seorang santri yang menjadi korban, berteriak histeris saat mendengar suara HW di ruang persidangan.
Korban berteriak dan menutup telinganya saat pelaku, yang adalah mantan gurunya tersebut mulai berbicara.
Baca Juga: Ini Deretan Fakta Seputar Kasus Pelecehan Seksual yang Dialami Santri Perempuan di Bandung
"Iya pasti (trauma), waktu (suara terdakwa) diperdengarkan melalui speaker, si korban tutup telinga sambil menjerit sampai tak tahan lagi dengar suaranya," kata Agus, dikutip dari Kompas.com.
Agus sendiri merasa ikut sedih saat melihat teriak histeris dari korban yang masih di bawah umur tersebut.
"Enggak tahan saya lihat kepedihannya, ikut nangis," cerita Agus.
Menurut keterangan Agus, seorang korban bahkan rela datang ke persidangan walau kondisi fisiknya masih lemah.
Korban diketahui baru melahirkan tiga minggu yang lalu, namun ia tetap ingin hadir dan menuntut keadilan baginya dan korban lainnya.
"Ada korban baru melahirkan tiga minggu ya, dalam kondisi lunglai masih berani menghadap persidangan dengan didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)," kata Agus.
"Itu miris hati kami, karena sama-sama memiliki anak perempuan, apalagi ini diperlakukan berulang kali, mau pulang jauh, di situ tak ada yang menolong istilahnya," sambungnya.
Para korban datang dengan didampingi orang tua yang juga sempat ikut menunjukkan kekesalannya kepada pelaku.
Ruang sidang pun dipenuhi dengan amarah, baik dari korban maupun orang tua yang mendampingi.
Namun, Agus tetap mengingatkan orang tua bahwa kasus ini akan diproses secara hukum.
Baca Juga: Dampingi Korban Kekerasan Seksual di Pesantren, Istri Ridwan Kamil Terpukul
Diketahui, salah satu keluarga korban yang berasal dari Garut mengakui bahwa pihaknya sudah melaporkan kasus ini enam bulan lalu.
Namun, tidak ada proses hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian, sampai kasus ini menjadi viral.
Keluarga korban juga tidak memiliki akses informasi yang cukup terkait lembaga-lembaga yang dapat melindungi korban secara hukum.
"Enam bulan saya berjuang, enam bulan itu lama, korban sudah menderita sangat panjang," kata AN, keluarga korban, saat diwawancari oleh Tribunjabar.id.
"Kenapa baru sekarang pas mau vonisan baru rame? Saya minta keadilan seadil-adilnya," sambungnya dengan tegas.
Kini pihak kejaksaan sedang mengupayakan proses hukum yang adil dan memihak pada korban dalam kasus ini.
Baca Juga: Kisah Orangtua Korban Perkosaan Guru Pesantren, Dunia Bak Hancur saat Anak Pulang Bawa Bayi
Keluarga korban pun mengaku bersyukur kasus ini menjadi viral karena masyarakat juga bisa ikut serta memantau proses hukumnya.
"Biar semua ikut memantau, biar hukum ditegakkan seadil-adilnya," tutup AN.
(*)