Kamila Andini dengan apik merangkai lagi bait demi bait lewat gambaran kehidupan yang manis dengan banyak pesan pilu di balik setiap katanya.
Kisah ini seperti puisi Hujan di Bulan Juni karya Sapardi yang menceritakan tentang rintik hujan yang jatuh di musim kemarau.
Yuni pun dipaksa menjadi dewasa di waktu yang seharusnya ia merasakan kebebasan sebagai perempuan remaja.
Kisah Yuni dan geng pertemanannya adalah gambaran nyata perempuan muda yang tumbuh di daerah pinggiran dan suaranya tak pernah terdengar.
Akses informasi yang terbatas, kepercayaan akan mitos yang kuat, membuat perempuan di daerah tidak tahu bahwa mereka memiliki pilihan.
Baca Juga: Belajar dari Film Yuni, Ini Risiko Kehamilan di Usia Remaja pada Bayi
Pernikahan anak di bawah umur yang menjadi isu yang disoroti dalam film ini merupakan beban sistem patriarki yang dilimpahkan kepada perempuan.
Mengatasnamakan martabat keluarga dan kesucian perempuan, pernikahan datang sebagai penyelamatan yang transaksional.
Secara halus, film ini menunjukkan realita bahwa perempuan masih dilihat seperti barang yang dapat diperjualbelikan di lingkungan masyarakat Indonesia.
Dibukanya film ini dengan tes keperawanan sendiri pun sudah menyoroti tentang betapa masyarakat Indonesia masih melihat harga diri perempuan terletak pada label "kesucian".
"Kesucian" tersebut pun dinilai dengan tolak ukur yang dibuat oleh sistem patriarki.