"Saat itu saya belum siap punya anak, saat membuka koper dan melihat pakaian kecil-kecil, kita melongo. Karena kita sadar, kita akan mempunyai tanggung jawab yang besar. Saat saya melihat bayi dan merawatnya, saya merasa mulai joyful. Saat itu saya sadar memiliki rasa cinta yang berbeda antara anak dan suami. Saya menjadi sosok selfless," cerita Fary soal pengalamannya pertama kali menjadi ibu.
"Saya pernah nangis sampai jam dua malam karena kecapekan mengurusi anak," tambahnya.
Tanpa disadari, menjadi sosok ibu yang dituntut menjalankan multiperan rentan untuk merasa depresi, stres, dan mengalami keterpurukan.
Sayangnya, hal-hal seperti keterpurukan para ibu akibat tuntutan kesempurnaan, jarang dibahas oleh media.
Baca juga: 5 Aplikasi yang Bantu Ibu Rumah Tangga Tingkatkan Kemampuan Diri
Sebagai praktisi media digital di area perempuan, Indhira Dhian Saraswaty berbicara mengenai motherhood yang lebih realistis.
"Motherhood yang lebih realistis itu sebenarnya luar biasa sekali tantangannya. Kita perlu membahas satu per satu permasalahan yang dihadapi ibu. Seperti ibu yang diharuskan kuat. Nggak sedikit juga ibu yang mengalami masalah ekspetasi atau mimpi dengan realitanya seperti apa. Ketika gap-nya bertambah besar, yang biasanya muncul itu, stres, frustasi, sampai membandingkan diri dengan orang lain. Saya rasa, hal itu dulu yang perlu diselesaikan," ujar Indhira selaku Editor in Chief Parapuan.co.
"Percayalah image ibu yang sering ditampilkan di sosial media, itu adalah tampilan depan. Kayak di Zoom, kita berpakaian rapi tapi di bawah pakai celana pendek. Kan kita tidak pernah tahu," tambahnya.
Selain itu, image sosok ibu kuat dan multitasking yang kerap ditampilkan oleh media, tak jarang membuat para ibu membandingkan dirinya satu sama lain.