Parapuan.co- Maizidah Salas berbagi cerita kepada PARAPUAN soal pengalamannya menjadi korban Human Trafficking.
Ia juga mendirikan Kampung Buruh Migran di Wonosobo untuk memberdayakan mereka, memberi edukasi, dan mengajari mandiri.
Alhasil, banyak perempuan enggan untuk kembali menjadi buruh TKI (tenaga kerja Indonesia) setelah Maizidah Salas membangun kampung tersebut.
Lalu seperti apa kisah Maizidah Salas yang bangkit dari keterpurukan usai menjadi korban Human Trafficking? Berikut ulasannya untuk Kawan Puan!
Perempuan yang akrab disapa Bu Salas ini mengawalinya dengan bercerita awal mula ia tertarik memperdalam isu pekerja migran dan human trafficking.
"Saya fokus ke isu pekerja migran dan human trafficking, karena sebelumnya saya pernah menjadi korban human trafficking. Pertama kali saya bekerja di Korea pada tahun 1998. Padahal saat itu usia saya belum mencukupi untuk usia bekerja. Usia dan alamat saya saat dipalsukan," cerita perempuan berjilbab itu.
Namun kehidupan tidak sesuai dengan apa yang ia ekspektasikan ketika bekerja di luar negeri.
Mengingat pada tahun 1998 terjadi krisis keuangan global, hal tersebut juga berdampak pada kehidupan Bu Salas sebagai TKI.
"Lalu saya dipindahkan dan mau dipulangkan ke Indonesia. Karena saya berangkat bekerja ke luar negeri dengan biaya hutang, saya belum punya uang sama sekali. Waktu itu saya melarikan diri, menjadi pekerja migran kaburan di Korea. Tapi baru dua bulan kabur. Nah, saat saya baru mulai merasakan bekerja dan belum mendapatkan gaji, eh saya malah ketangkap polisi. Akhirnya dipenjara terus dideportasi," tambahnya.
Baca juga: Cerita Penyintas Human Trafficking Soal Sisi Gelap Proses Perekrutan Buruh Migran
Bu Salas yang saat itu baru berusia 18 tahun dan sudah memiliki satu anak kebingungan bagaimana caranya menghidupi keluarganya.
Ia akhirnya memutuskan untuk bekerja lagi ke luar negeri demi menghidupi keluarga.
"Satu tahun dideportasi itu rasanya bingung, pusing, punya anak, dan udah nggak punya suami. Terus saya minta izin lagi ke orang tua dengan modal menjual lahan di pekarangan untuk biaya ke Taiwan," ujar Bu Salas.
Sayangnya saat itu Bu Salas kehilangan uangnya karena ditipu orang saat berada di Jakarta.
Akhirnya ia memutuskan untuk ke shelter TKI dengan uang yang tersisa.
Selama tiga bulan berada di shelter, Bu Salas mengaku mendapat banyak tekanan.
Setelah sampai di Taiwan, tekanan dan kekerasan kerap ia dapatkan.
"Di majikan pertama saya disiksa. Saya disuruh bekerja mulai dari jam setengah 4 subuh sampai jam 1 malam. Bahkan untuk sholat saja saya tidak diizinkan. Lalu pindah ke majikan yang kedua, saya merasa bahagia. Saya mendapat majikan yang baik dan royal. Tapi baru empat bulan bekerja agensi menarik saya karena saya sudah dikontrak 3 tahun oleh majikan pertama. Dan majikan pertama baru bisa mengambil pekerja lagi setelah saya dipulangkan," cerita Bu Salas sesekali sesenggukan.
Saat dijemput oleh pihak agensi dari rumah majikan kedua, Bu Salas justru mengalami kekerasan seksual.
Baca juga: Hari Kowal, Mengenal Malahayati Si Laksmana Laut Perempuan Pertama
"Saat di mobil berdua dengan salah satu pegawai agensi, dia tiba-tiba meraba saya, melepar handphone pemberian majikan kedua saya, dan bersikap kasar pada saya," cerita Bu Salas yang mulai berlinang air mata mengingat kejadian tersebut.
Mendirikan Kampung Buruh Migran
Setelah mengalami berbagai masalah saat menjadi TKI, Bu Salas akhirnya mendapat pekerjaan di pabrik dengan penghasilan yang lumayan.
“Saya lalu menyewa apartemen bersama teman sedesa yang dulu juga tertipu bersama saya. Apartemen kami gunakan untuk menampung teman-teman yang sedang kena masalah. Apartemennya memang hanya punya satu kamar. Saya memberi mereka makan, mencarikan pekerjaan, dan sedikit uang. Meski hanya bisa membantu sedikit, saya
senang. Dari situ saya melihat, TKI resmi juga banyak yang bermasalah," cerita ibu tiga anak ini.
Usai empat tahun bekerja secara ilegal, Bu Salas akhirnya ditangkap dan ditahan, kemudian dideportasi ke Indonesia.
Saat kembali ke Wonosobo, ia membentuk Solidaritas Perempuan Migran Wonosobo (SPMW) dan menjadi ketua.
Karena jumlah anggotanya semakin banyak, akhirnya komunitas itu berganti nama Kampung Buruh Migran (KBM).
"Kebanyakan korban Human Trafficking adalah perempuan. Nah, disitu, saya memberikan pendampingan dan edukasi kepada mereka lewat KBM," ujar Bu Salas.
Komunitas para penyintas Human Trafficking tersebut biasanya mengadakan diskusi atau sesi sharing yang membahas program pemerintah, pelatihan, simpan pinjam, dan membuat usaha-usaha kecil.
Baca juga: Sosok Christina Rantetana, Korps Wanita Angkatan Laut Pertama yang Menjabat Sebagai Jenderal
Bangkit dari keterpurukan
Maizidah Salas diketahui menikah di usia 16 tahun sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA.
Namun hal itu tidak membuat semangatnya untuk meraih impian hilang begitu saja.
Usai dideportasi dan kembali ke Wonosobo, ia mengambil kejar paket C di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar sarjana Hukum Perdata dari Universitas Bung Karno.
Ia bahkan berhasil untuk mendapatkan beasiswa S2 di Jerman.
Kini Bu Salas juga aktif di Serikat Buruh Migran Indonesia yang berupaya melakukan advokasi pencegahan perdagangan manusia serta membantu perancangan Undang-Undang tentang Penempatan dan Perlindungan TKI hingga pembuatan revisi undang-undang tersebut.
Wah, Kawan Puan, sosok Bu Salas ini sungguh inspiratif sekali ya! (*)