Parapuan.co - Di masa pandemi yang masih belum membaik, seorang pebisnis harus resiliensi.
Maksudnya, mereka harus memiliki kemampuan beradaptasi dalam situasi sulit dan tetap teguh meski badai terjadi.
Resiliensi seolah mewakili isi buku Kreatif Berbisnis Kreatif – 21 tahun merawat bisnis kreatif, yang ditulis oleh perempuan hebat, Uti Rahardjo.
Nama Uti Rahardjo tentu menyita perhatian publik. Perempuan mandiri ini ternyata adalah seorang pendiri sekaligus CEO Creative Center Indonesia (CCI), perusahaan konsultan marketing communication (marcomm) yang diluncurkan di Jakarta, Sabtu (08/01).
Dilansir dari NOVA, buku yang ditulis Uti bisa menjadi inspirasi sekaligus referensi karena berisi tentang suka duka hingga pengalaman memulai bisnis bersama tim.
Dalam buku tersebut, Uti juga menceritakan bagaimana dirinya menangani sejumlah klien tingkat dunia di sela kesibukannya menjadi seorang ibu.
Memiliki ibu yang hebat seperti Uti membuat Ganendra Satria, putra pertama Uti, merasakan pengaruh luar biasa besar dalam leadership, independensi, ambisi serta kreativitas di dalam dirinya.
Hal ini juga dirasakan oleh Laras Thyrza Amandari, putri dari Uti yang namanya digunakan sebagai brand batiknya. Bagi Laras, ibunya adalah sosok perempuan kuat dan figur independen yang selalu terbuka, vokal, dan tahu betul keinginanya.
Menurut Laras, sifat ini jarang dimiliki perempuan Indonesia sehingga baginya, ibu adalah sosok yang menginspirasi.
Baca Juga: Prosedur Pendaftaran SBMPTN 2022 untuk Siswa Gap Year, Apa Saja?
Dicuplik dari bagian buku ini, Uti menggambarkan perihal daya tangguh. Ia mengungkapkan bahwa bekerja dalam tim membutuhkan ketangguhan.
”Sikap maju tak gentar ini kemudian diserap oleh armada kami, sehingga nilai yang terbangun sejak awal di Creative Center adalah ketangguhan. Resiliensi menjadi satu kekuatan yang membuat Creative Center bisa bertahan hingga lebih dari 20 tahun.
Istilah yang sekarang populer adalah “G. R. I. T” (Guts, Resilience, Initiative dan Tenacity), yang berarti memiliki nyali, tahan banting, penuh inisiatif dan persisten,” ujarnya.
Tidak hanya bercerita soal sosoknya yang hebat, buku ini juga memiliki cerita mengalir dan tidak menggurui.
Pengalaman batin, perjalanan karier Uti, seorang lulusan Psikologi UI yang sebelumnya “tidak percaya diri” membangun sejumlah bisnisnya, justru bangkit menjadi semakin percaya kemampuan dirinya.
Berpikir “solo” karena Creative Center Indonesia (CCI) yang sebelumnya adalah Creative Center, didirikan oleh hanya “seorang Uti” sebagai pemrakarsa.
Selaras namanya, selama 21 tahun memimpin Creative Center, suatu biro iklan yang lahir tanpa persiapan yang matang, justru akhirnya mampu menangani sejumlah klien di berbagai bidang mulai.
Institusi perbankan, perusahaan (korporasi) swasta dan BUMN termasuk di dalamnya perusahaan bergerak di bidang otomotif dan transportasi, kebutuhan pribadi (personal care) sudah pernah ditangani.
Selain itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), produsen makanan jadi dan pangan kemasan serta produk olahan, resto; pengelola wisata belanja eceran, rumah sakit, lembaga pendidikan dan masih banyak lagi juga sudah pernah ia tangani.
Baca Juga: Lintas Jurusan Tidak Disarankan, Ini Aturan Pilih Prodi di SNMPTN 2022
“Proses menggarap buku ini, sekitar lima tahun karena saya selalu merasa ‘haus’ untuk terus menyempurnakannya, sampai akhirnya buku ini selesai dan dicetak di Jakarta pada November 2021," ujarnya.
Uti juga menceritakan bagaimana dirinya belajar sambil praktik di sejumlah biro iklan ternama Indonesia macam BBDO, JWT Adforce, Saatchi & Saatchi Advertising.
Bahkan, ia juga pernah bekerja untuk McCann Erickson hingga kini juga menjadi pendiri perusahaan properti Griya Cinere Hijau dan juga galeri Batik Amandari.
21 Tahun Work from Home
Perempuan peraih Entrepreneurial Winning Women 2011 dari Ernst & Young dan penerima Anugerah Perempuan Indonesia (API) tahun 2012 dari Woman Review Magazine ini selama 21 tahun berkarier di CCI selalu melakukan pekerjaannya dari rumah.
Meski begitu, dirinya bersyukur telah mampu beradaptasi dalam situasi rumah yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan bekerja di kantor.
“Pasti saya menghadapi tantangan yang sangat bertubi-tubi, termasuk di masa pandemi di mana banyak sektor usaha menghadapi banyak kesulitan. Begitu juga dengan kami, harus menghadapi tantangan yang dikhawatirkan dapat merontokkan kinerja yang sudah dibangun selama bertahun-tahun," tuturnya.
Hal tersebut pada akhirnya memerlukan kreativitas yang tinggi agar bisa bertahan membangun tim yang solid, mengatur cash flow perusahaan yang ketat, serta mempertahankan konsumen atau klien agar bisa terus beradaptasi, sehingga kita tetap dapat menghasilkan revenue yang signifikan.
CCI telah melampaui masa pasang surut yang memperkaya hidup dengan pengalaman luar biasa, tidak ternilai harganya.
Baca Juga: Ini Syarat Peserta dan Sekolah yang Bisa Mendaftar SNMPTN 2022
Salah satu buktinya, kendati mengaku sebagai bagian dari generasi digital vs generasi analog, namun Uti dan timnya juga didukung oleh mereka yang mulai memahami ranah digital dengan sejumlah aplikasinya.
Mereka dapat membuktikan jika CCI ternyata bisa bertahan di tengah situasi yang sangat kompetitif, dengan kemampuan anak muda dengan digital mindset-nya.
Memiliki jiwa yang rendah hati sebagai warisan budaya dari para leluhurnya, Uti mengatakan bahwa menjalankan bisnis itu bukan merancang sesuatu secara sempurna, melainkan mengalir saja sebagai suatu proses.
Business is not science, not art, but practice, demikian jelas praktisi bisnis kreatif yang ingin membagikan pengalamannya dalam berbisnis kepada para generasi milenial, melalui goresan penanya dalam buku ini.
Kendali Bisnis Melampaui Masa
Dalam derap waktu, Uti merasa menjadi generasi yang beruntung, menyaksikan dan memegang kendali bisnis melampaui masa di tahun 2000, di mana peran internet, komputer serta teknologi digital belum secangggih seperti saat ini.
”Dengan modal pernah bekerja di berbagai perusahaan advertising selama lebih dari 10 tahun itu, saya memulai pendirian perusahaan Creative Center setelah menang penawaran tender salah satu perusahaan perbankan asing di Indonesia.”
Mengaku banyak disupport oleh sejumlah sahabatnya, Uti ternyata memiiki asset knowledge yang cukup berharga, sampai para klien menaruh kepercayaan (trust) yang besar, sehingga kerjasama dengan mereka bisa berlangsung sampai bertahun-tahun, jelas pencinta batik yang gemar bermain piano ini. Kecintaannya pada musik, mungkin mengasah intuisi dan empathy secara lebih baik dalam berbisnis.
By having the empathy saya juga mencoba leading the team dengan mengatakan kita harus memahami kebutuhan mereka (klien), karena mereka juga dihadapkan pada tantangan kompetisi yang tinggi.
Jadi, ethos kerja yang dibangun adalah problem solving (menyelesaikan masalah). Setelah saya belajar tentang creativity, ternyata creativity juga pada dasarnya bertujuan menjadi problem solving, “ papar Uti.
Akhirnya sebagai “seorang dirigen” dirinya mampu menampilkan orkestra yang apik, sehingga sejumlah klien menaruh rasa percaya terhadap kapabilitas yang mumpuni pada diri Uti.
Dirinya menjadi terbiasa untuk bekerja secara sangat cepat, mematuhi tenggat waktu yang ekstra ketat, untuk menghasilkan pekerjaan output yang sempurna.
“Tim kami itu digojlok oleh para klien melalui pembentukan gugus tugas (task force) yang sangat taktis, guna menjawab kebutuhan pasar. Dengan orientasi melayani (served) pada permintaan pasar yang sangat ketat, maka tim kami terlatih dengan tetap bekerja secara profesional.
Kuncinya adalah “tidak pernah mengatakan tidak bisa” kepada klien, karena pada dasarnya kita tidak pernah tahu, mana yang benar-benar kita tidak bisa lakukan sebelum kita mencoba.
Di situlah yang kemungkinan membuat CCI mampu survive dalam 21 tahun ini, mencoba dulu apapun tantangan yang ada di depan mata.”
(*)
Baca Juga: Segera Persiapkan Diri, Perhatikan Ini Agar Bisa Lolos Kartu Prakerja Gelombang 23