Parapuan.co - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, kembali menyatakan komitmen negara untuk penangan kasus kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual kepada perempuan dan anak yang sering terjadi dalam satu tahun terakhir ini telah menjadi perhatian negara.
Pada 2020 lalu, KemenPPPA mendapatkan tambahan fungsi implementatif terkait dengan isu ini.
KemenPPPA kini bertindak dalam pelayanan rujukan akhir sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020.
Namun demikian, berbagai tantangan masih dihadapi oleh KemenPPPA dalam menjalankan fungsi tersebut.
"Tantangan pertama adalah adanya gap antara meningkatnya jumlah korban dan keluarga korban yang telah mampu membuka suara dengan ketersediaan lembaga yang menangani," kata Menteri Bintang, dikutip dari rilis yang PARAPUAN terima.
Tantangan kedua yang disebutkan oleh Menteri Bintang adalah adanya jarak antara kualitas kekerasan yang semakin beragam dengan kualitas penanganan.
Tantangan terakhir adalah adanya jarak antara keluasan cakupan wilayah dengan sistem penanganan dengan efektif, cepat dan sinergis.
"Dengan demikian bila diringkaskan maka dari aspek penanganannya, korban belum memperoleh keadilan secara cepat dan mudah," katanya lebih lanjut.
Baca Juga: KemenPPPA Apresiasi Tuntutan Hukuman Mati Pelaku Pemerkosa Santri di Cibiru
Selain itu, Menteri Bintang juga menyatakan bahwa penyintas masih belum mendapatkan pemulihan yang diperlukan.
Meski menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan fungsi sebagai layanan rujukan akhir, KemenPPPA telah melakukan berbagai aksi nyata.
KemenPPPA menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan menggunakan prinsip cepat, komprehensif, dan terintegrasi.
Salah satu kasus yang dituntaskan adalah pengembalian anak-anak asal Cianjur yang dijual ke Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, pihak Menteri Bintang telah pendampingan kasus kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di Jakarta.
"Ketika kita bicara mengenai tugas dan fungsi ini, memang membuka ruang kami untuk bisa melakukan pelayanan secara langsung," jelas Menteri Bintang.
"Tapi ada keterbatasan kami yang dibentengi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintah Daerah," pungkasnya.
Ia mengungkapkan bahwa pihaknya kerap kali menemukan kesulitan dalam mengetahui wewenangnya dalam sebuah kasus kekerasan seksual yang sedang ditangani.
Baca Juga: Upaya Pelayanan Korban Kekerasan pada Perempuan dari KemenPPPA
"Mana yang boleh kami eksekusi langsung, mana yang sebatas koordinasi yang bisa kita lakukan," tutur Menteri Bintang.
Lebih lanjut, Menteri Bintang menjelaskan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2021.
Prevalensi anak usia 13-17 tahun yang pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018.
Meski begitu, Menteri Bintang meminta seluruh pihak tetap waspada terhadap angka dan modus yang kian beragam.
"Menurun sebesar 21,7% bagi anak perempuan dan 28,31% bagi anak laki-laki dalam kurun waktu tiga tahun," jelas Menteri Bintang.
Berdasarkan survei tersebut, ada penurunan prevalensi kekerasan terhadap anak yang merupakan berita baik, namun angkanya masih cukup tinggi.
"Apalagi sepanjang tahun 2021, terutamanya tiga bulan terakhir, tidak ada pemberitaan tanpa kekerasan seksual terhadap anak-anak kita," tegas Menteri Bintang.
"Ini menjadi perhatian kita bersama demikian juga ketika kita melihat modus yang semakin beragam dan mengerikan," tambahnya.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyatakan, pemerintah berkomitmen kuat dalam kasus ini.
Muhadjir menekankan pentingnya implementasi dari peraturan perundangan yang ada dan koordinasi yang kuat untuk mencegah serta menangani kasus kekerasan seksual.
Baca Juga: Pola Asuh Keluarga untuk Mencegah Kekerasan pada Perempuan dan Anak
(*)