Parapuan.co - Lonjakan kasus Covid-19 yang meroket belakangan ini cukup membuat sebagian masyarakat Indonesia panik dan dilanda kecemasan berlebih.
Namun, ahli epidemiologi mengatakan, situasi pandemi Covid-19 saat ini tidak bisa disamakan dengan kondisi gelombang pandemi akibat varian Delta 2021 lalu.
Lonjakan kasus yang terjadi akhir Januari 2022 hingga kini perlu disikapi secara bijak dengan pemahaman yang lebih baik oleh masyarakat, terutama soal karakteristik varian Omicron sendiri.
"Masyarakat Indonesia memiliki trauma pada momen gelombang Covid-19 varian Delta yang lalu," ungkap Dr. Pandu Riono, MPH., Ph.D., Epidemiolog Universitas Indonesia, melansir Tribunnews.
Namun, katanya lagi, "Perlu diketahui memang varian Omicron ini penyebarannya cepat, tapi kasus kesakitan maupun kematian akibat varian ini rendah."
Tidak hanya itu, Pandu juga menegaskan bahwa bagi pasien varian Omicron ini tidak banyak yang perlu masuk rumah sakit.
"Ini yang perlu diketahui masyarakat. Karakteristik lonjakan kasus sangat dipengaruhi karakteristik varian virusnya," terang Pandu.
"Kedua, karakteristik lonjakan kasus ini juga dipengaruhi oleh jumlah imunitas penduduk," ujarnya.
Pandu pun bilang, "Karena itulah masyarakat sering salah persepsi dengan kondisi saat ini seperti kondisi di Juli-Agustus 2021 lalu, padahal sudah jauh berbeda."
Baca Juga: Meski Gejala Lebih Ringan, Dokter Tegaskan Masyarakat Harus Waspada Omicron
Pasalnya, sebagian besar penduduk Tanah Air hingga Kamis (3/2), sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 yang cukup merata.
Berdasarkan data catatan vaksinasi nasional, telah lebih dari 185 juta populasi penduduk Indonesia yang mendapat vaksinasi dosis pertama.
Sedangkan, 129 juta lebih penduduk mendapatkan dosis kedua, serta lebih dari 4,7 juta penduduk sudah mendapat dosis ketiga atau vaksin booster.
Vaksinasi masih memiliki peran yang besar bagi pencegahan kesakitan dan kematian akibat infeksi virus Covid-19 varian apa saja termasuk Omicron.
Berkaca dari negara-negara lain yang lebih dahulu melewati varian Omicron seperti Afrika Selatan, Inggri, dan India, tingkat keparahan dan kematian akibat infeksi varian Omicron ini jauh berbeda dengan varian Delta.
"Saya bisa berbicara seperti ini karena melihat pengalaman dari negara lain yang sudah melalui gelombang Omicron," terang Pandu.
"Karakternya cepat naik, cepat turun, dan pasien yang masuk rumah sakit jauh lebih rendah," tambahnya lagi.
Rupanya, pengalaman negara lain yang menurut Pandu Riono mirip dengan studi kasus di Indonesia adalah di India.
Pandu berharap lonjakan kasus di Indonesia akan mengikuti pola di India, di mana turun dengan cepat dan tidak banyak berdampak pada pelayanan rumah sakit maupun kematian.
Baca Juga: Sinovac Biotech Ltd Rilis Data 3 Dosis CoronaVac Mampu Lawan Covid-19 Termasuk Omicron
Pandu pun melihat pemerintah dalam menangani lonjakan kasus kali ini sudah lebih siap.
Kemenkes telah menyediakan pelayanan konsultasi kesehatan jarak jauh (telemedisin) secara gratis bagi pasien isolasi mandiri di rumah.
Begitu juga dengan obat-obatan yang diperlukan pasien isolasi mandiri (isoman) juga sudah dipersiapkan dengan gratis.
"Kecemasan yang berlebihan membuat masyarakat minta dirawat di rumah sakit padahal tidak memenuhi syarat untuk dirawat di rumah sakit," ujar Pandu.
Menurutnya, "Ini yang seakan-akan membuat tempat tidur di rumah sakit tinggi padahal mayoritas di rumah sakit itu pasien bergejala ringan."
Pandu pun menegaskan bahwa pasien yang statusnya sedang, berat, atau yang punya komorbiditas yang bisa dirawat di rumah sakit.
"Kalau yang tanpa gejala maupun bergejala ringan, silakan isolasi mandiri," imbau Pandu.
Di samping vaksinasi, salah satu cara lain untuk mengurangi dampak penularan Covid-19 varian Omicron ialah mengetatkan protokol kesehatan 3M.
Baca Juga: Tips Jaga Kesehatan Anak dalam Persiapan Sekolah Tatap Muka di Tengah Omicron
Kamu harus semakin rajin untuk mencuci tangan, taat menjaga jarak, dan selalu memakai masker saat keluar rumah.
Menurut Pandu, vaksinasi dan prokes, ialah dua cara yang efektif untuk mengurangi dampak buruk tertular Covid-19 yakni kesakitan dan kematian. (*)