Hal ini mengakibatkan pandemi menjadi bayangan yang mengganggu target SDG 5.3 tentang penghapusan semua praktik berbahaya termasuk, mutilasi alat kelamin perempuan.
UNFPA memperkirakan tambahan 2 juta anak perempuan diproyeksikan berisiko mengalami mutilasi alat kelamin perempuan pada tahun 2030.
Menanggapi gangguan ini, PBB, melalui program bersama UNFPA-UNICEF, telah mengadaptasi intervensi yang memastikan integrasi mutilasi alat kelamin perempuan di kemanusiaan dan pasca krisis.
Itulah sebabnya PBB menyerukan kepada komunitas global untuk membayangkan kembali dunia yang memungkinkan anak perempuan dan perempuan memiliki suara, pilihan, dan kendali atas kehidupan mereka sendiri.
Sejarah Hari Anti Sunat Perempuan
Pada tahun 2012, Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 6 Februari sebagai Hari Internasional Tanpa Toleransi untuk Mutilasi Alat Kelamin Perempuan.
Hal ini bertujuan untuk memperkuat dan mengarahkan upaya penghapusan praktik ini.
Sejak 2008, UNFPA, bersama dengan UNICEF telah memimpin program global terbesar untuk mempercepat penghapusan mutilasi alat kelamin perempuan.
Program bersama saat ini berfokus pada 17 negara di Afrika dan Timur Tengah dan juga mendukung inisiatif regional dan global.
Program ini menciptakan peluang bagi anak perempuan dan perempuan untuk mewujudkan hak-hak mereka dalam kesehatan, pendidikan, pendapatan dan kesetaraan untuk membantu mengakhiri ketidakseimbangan kekuasaan yang mendukung praktik berbahaya ini.
Sejak saat itu hingga sekarang, Hari Anti Sunat Perempuan Sedunia terus diperingati demi menekan praktik sunat pada perempuan yang nyatanya membawa dampak negatif bagi kesehatan.
Baca Juga: Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan: Mengenal Variasi Ukuran dan Warna Vagina
(*)