Unsur pidana tersebut seperti pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual berbasis online, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, dan penyiksaan seksual.
"Selain itu juga ada pemberatan hukuman, pidana tambahan, restitusi, serta tindakan rehabilitasi bagi pelaku," imbuh Menteri PPPA.
Penyidik Madya Tingkat III Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan, terdapat beberapa ruang lingkup hukum yang diatur dalam RUU TPKS.
Salah satu butirnya menjelaskan syarat Aparat Penegak Hukum (APH) yang menangani kasus kekerasan seksual.
"Dimasukkan dalam hukum acara, syarat APH adalah memiliki kompetensi dan mengikuti pelatihan," jelas Calvijn.
Tidak hanya itu, APH juga harus sensitif gender untuk menghindari reviktimisasi korban.
Selain itu, RUU TPKS ini tidak menggunakan pendekatan restorative justice.
Calvijn menjelaskan, melalui RUU TPKS ini, nantinya keterangan saksi ataupun korban dalam proses penyidikan dapat dilakukan melalui perekaman elektronik.
Baca Juga: Kementerian PPPA Siap Susun Daftar Isian Masalah RUU TPKS Bersama DPR RI