Bekerja di bidang hukum seperti pengacara ternyata sudah menjadi keinginannya sejak SMA.
Dahulu ia ingin menjadi seorang pengacara untuk membantu orang dan merepresentasikan sosok perempuan di bidang hukum.
"Dari SMA aku memang pengen jadi pengacara karena bisa melakukan sesuatu dan membantu orang. Kayak keren gitu. Nah dari situ kemudian aku pengen jadi pengacara yang bisa membantu banyak perempuan. Karena sedikit sekali, pengacara yang merepresentasikan perempuan," cerita Naila.
"Dari situlah kemudian aku masuk fakultas hukum, yang kemudian aku sesalkan," tambahnya sambil tertawa.
Saat ditanya mengenai alasannya menyesal masuk jurusan hukum, Naila menjelaskan maksud 'salah' jurusan yang ia sesalkan.
"Sebenarnya aku bukan merasa itu jurusan yang 'salah' buat aku. Tapi karena pandangan hukum di Indonesia masih positivistik dan kurang membuka ruang pada pandangan-pandangan non hukum yang sebenarnya juga lebih penting. Seperti pendekatan sosiologi, pendekatan empiris, atau bahkan pendekatan feminis, yang masih sangat minim disuarakan. Selain itu, aku juga merasa jika produk-produk hukum di sini justru yang menciptakan ketidakadilan. Apalagi penegak hukum juga masih diskriminatif," jelas Naila sembari mengasuh anaknya yang masih balita.
Selain tertarik di bidang hukum, ibu satu anak ini ternyata juga mempelajari Feminisme.
Ia menceritakan awal mula tertarik untuk mempelajari Feminisme.
"Pada tahun 2010 sampai 2011, aku mulai belajar Feminisme dari teman debatku. Kemudian pada tahun 2012, aku mulai bersinggungan dengan pekerjaan kemanusiaan dan mengenal Garwita Institute yang merupakan kantor hukum dan psikologi yang diampuh oleh Dhoho Ali Sastro," ujar Naila.
Baca juga: Sosok Olena Zelenska, Istri Presiden Ukraina yang Disebut Jadi Target Pasukan Rusia