Parapuan.co- Dalam rangka menyambut International Women's day atau Hari Perempuan Internasional yang akan diperingati setiap tanggal 8 Maret, PARAPUAN ingin membahas mengenai profil perempuan inspiratif.
Kali ini, PARAPUAN berkesempatan mewawancarai salah satu penggerak aksi Women's March Jakarta bernama Naila Rizqi Zakiah.
Women's march sendiri merupakan aksi solidaritas yang digelar setiap Hari Perempuan Internasional yang bertujuan untuk menyuarakan isu perempuan dan kaum marjinal lainnya.
Aksi ini yang awalnya muncul di Amerika Serikat (AS) dan kemudian menyebar ke berbagai negara dengan membawa isu negara mereka masing-masing.
Nah, seperti apa sosok Naila Rizqi Zakiah yang kini juga berprofesi sebagai advokat hukum di Jakarta Feminist? Simak ulasannya di bawah ini!
Perempuan berjilbab yang akrab disapa Naila ini, mengawali cerita mengenai perjalanan pendidikannya kepada PARAPUAN.
"Aku sempat satu tahun nggak kuliah, karena Almarhumah Ibuku sakit. Nah, jadi aku vakum dulu. Selain itu, alasannya, aku nggak bisa kuliah di fakultas Hukum di Univesitas Indonesia," ujar Naila.
Ia juga bercerita bahwa bersekolah hukum adalah cita-citanya sejak dulu berawal dari suka menonton Indonesia Lawyers Club.
"Waktu jaman 2008 atau 2009 gitu, lagi ramai tayangan Indonesia Lawyers Club. Yang isinya semua laki-laki. Waktu itu, satu-satunya lawyer perempuan yang sering seliweran di TV itu Elza Syarief. Akhirnya aku bertanya-tanya 'kenapa ya Elza Syarief sepertinya tidak pernah masuk di Indonesia Lawyers Club?'. Terus aku bertanya-tanya dan semakin penasaran, 'kenapa acara ini isinya laki-laki semua?'," cerita Naila.
Baca juga: Jessica Pressler, Jurnalis Tangguh Di Balik Terciptanya Karakter Vivian Kent dalam Inventing Anna
Bekerja di bidang hukum seperti pengacara ternyata sudah menjadi keinginannya sejak SMA.
Dahulu ia ingin menjadi seorang pengacara untuk membantu orang dan merepresentasikan sosok perempuan di bidang hukum.
"Dari SMA aku memang pengen jadi pengacara karena bisa melakukan sesuatu dan membantu orang. Kayak keren gitu. Nah dari situ kemudian aku pengen jadi pengacara yang bisa membantu banyak perempuan. Karena sedikit sekali, pengacara yang merepresentasikan perempuan," cerita Naila.
"Dari situlah kemudian aku masuk fakultas hukum, yang kemudian aku sesalkan," tambahnya sambil tertawa.
Saat ditanya mengenai alasannya menyesal masuk jurusan hukum, Naila menjelaskan maksud 'salah' jurusan yang ia sesalkan.
"Sebenarnya aku bukan merasa itu jurusan yang 'salah' buat aku. Tapi karena pandangan hukum di Indonesia masih positivistik dan kurang membuka ruang pada pandangan-pandangan non hukum yang sebenarnya juga lebih penting. Seperti pendekatan sosiologi, pendekatan empiris, atau bahkan pendekatan feminis, yang masih sangat minim disuarakan. Selain itu, aku juga merasa jika produk-produk hukum di sini justru yang menciptakan ketidakadilan. Apalagi penegak hukum juga masih diskriminatif," jelas Naila sembari mengasuh anaknya yang masih balita.
Selain tertarik di bidang hukum, ibu satu anak ini ternyata juga mempelajari Feminisme.
Ia menceritakan awal mula tertarik untuk mempelajari Feminisme.
"Pada tahun 2010 sampai 2011, aku mulai belajar Feminisme dari teman debatku. Kemudian pada tahun 2012, aku mulai bersinggungan dengan pekerjaan kemanusiaan dan mengenal Garwita Institute yang merupakan kantor hukum dan psikologi yang diampuh oleh Dhoho Ali Sastro," ujar Naila.
Baca juga: Sosok Olena Zelenska, Istri Presiden Ukraina yang Disebut Jadi Target Pasukan Rusia
Setelah itu, Naila banyak terjun langsung memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang kesusahan mendapat akses.
"Dari situ aku banyak mengetahui dunia aktivisme dan banyak memberi bantuan hukum. Jadi tahun 2012 sampai aku lulus kuliah, aku mengabdi di Garwita Institute. Jadi banyak bantuin narapidana-narapidana di dalam lapas yang nggak punya akses terhadap bantuan hukum, terutama yang anak-anak," cerita Naila mengenai perjalanan kariernya usai lulus kuliah.
Sejak saat itulah, Naila merasa dirinya tidak cocok menjadi seorang pengacara yang memakai permasalahan orang sebagai ladang keuntungan.
"Karena hal itu, aku semakin yakin kalau aku nggak mungkin nih jadi pengacara profit. Kayaknya nggak akan tega menjadikan ketidakadilan yang dialami orang lain atau menjadikan masalah orang lain sebagai sumber penghasilan dengan melihat realitas di lapas pada waktu itu. Nah dari situ aku memutuskan untuk jadi pengabdi bantuan hukum aja," papar Naila.
"Kemudian aku ke Jakarta dan bekerja di LBH Masyarakat. Dari situ, mataku mulai terbuka soal hak-hak teman-teman kelompok marjinal seperti orang-orang dengan narkotika, orang yang mengidap HIV/AIDS, orang-orang LGBTIQ, pekerja seks, dan masih banyak lagi. Nah setelah itu aku semakin terjun ke isu hak asasi manusia dan kelompok rentan," lanjutnya.
Naila kemudian bergabung dengan Jakarta Feminist dan banyak mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan minoritas gender lainnya.
"Tahun 2016, aku mewakili Komnas Perempuan bersama teman-teman LBHI membantu teman-teman LGBTIQ yang mendapat kriminalisasi. Dari situ juga, aku jadi lebih banyak mengerjakan kasus hukum soal gender dan seksualitas. Di tahun yang sama aku bergabung dengan Jakarta Feminist Discussion Group karena pada saat itu aku jadi spokesperson tim advokat Komnas Perempuan,"
"Disitu aku membantu menginformasikan tim advokatnya Komnas Perempuan seperti menjelaskan apa yang terjadi di dalam persidangan dan strategi apa yang harus kita gunakan untuk melawan argumentasi dengan lawan ke teman-teman jaringan, termasuk ke teman-teman pegiat feminis," cerita Naila panjang lebar.
Perempuan lulusan Universitas Jember ini juga menceritakan awal mula berdirinya Women's March Indonesia khususnya di Jakarta.
Baca juga: Desi Remora, Pengusaha Tas dan Sepatu Kulit Berbasis Ramah Lingkungan di Malang
"Lalu pada akhir tahun, teman-teman feminis yang di Jakarta mulai tuh konsolidasi untuk merespon putusan MK (Mahkamah Konstitusional) dan isu global seperti terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS. Nah, dari situ kita bikin solidaritas yang tergerak dari gerakan Women's March AS yang mecoba melawan misoginisme di sana. Yang pada saat itu, kita coba kontekstualisasikan dengan masalah yang ada di Indonesia," cerita perempuan yang mengidolakan Ketua MK perempuan pertama di Indonesia, yakni Maria Farida.
"Pada saat itu, tahun 2016-2017, mencoba membawa isu diskriminasi perempuan dan kaum minoritas lainnya. Kemudian terbentuklah Women's March Jakarta. Awalnya memang gerakan solidaritas dan kini menjadi gerakan tempat menyuarakan hak perempuan dan masyarakat marjinal lainnya yang inklusif di Indonesia," tambahnya lagi.
"Aku sebelumnya di LBH Masyarakat pada tahun 2017-2019. Terus aku melahirkan. Nah, tahun 2020, aku resmi bekerja di Jakarta Feminist,"
Selama menjalani peran ganda sebagai ibu dan perempuan berkarier, Naila merasa beruntung karena memiliki tempat kerja yang ramah bagi dirinya dan suami yang terus mendukungnya.
Sebagai sosok ibu dan juga pekerja kemanusiaan, sosok Naila Rizqi sungguh menginspirasi ya, Kawan Puan! (*)