Parapuan.co - Tak dipungkiri bahwa banyak yang menganggap bahwa post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma itu hanya terjadi akibat pengalaman yang mengancam jiwa.
Pengalaman yang mengancam jiwa tersebut seperti berada dalam perang, mengalami bencana alam, atau mengalami kecelakaan mobil.
Namun harus dipahami bahwa PTSD terjadi bukan karena itu saja, sebab kondisi gangguan mental tersebut juga bisa ditimbulkan dari bullying atau perundungan.
Menurut informasi dari Very Well Mind, peristiwa bullying ini sangat umum di mana anak dengan usia 12 sampai 18 tahun lah yang menjadi korban perundungan ini.
Saking umumnya, bahkan banyak orang menganggapnya sebagai ritus peralihan masa kanak-kanak, padahal bagaimana pun perundungan itu salah.
Bullying sendiri dianggap sebagai bentuk kekerasan remaja dan dapat berupa fisik, verbal, sosial (misalnya menyebarkan rumor), dan mungkin termasuk kerusakan pada fisik seseorang.
Perlu dipahami pula bahwa perundungan tak hanya terjadi secara langsung saja, tapi ada yang melalui dunia maya yakni cyberbullying.
Bahkan studi literatur Post-traumatic stress disorder as a consequence of bullying at work and at school, mengungkap sebagian besar kasus intimidasi terjadi di sekolah, atau selama masa kanak-kanak, tetapi intimidasi juga dapat terjadi pada orang dewasa.
Lantas mengapa bullying menimbulkan PTSD?
Baca Juga: Mengapa saat Kecemasan Muncul Rasanya Mual? Ini Penjelasannya
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) mengungkap perundungan dianggap sebagai pengalaman masa kanak-kanak yang merugikan dan dapat menyebabkan kerugian psikologis langsung dan jangka panjang.
Anak-anak yang mengalami bullying memiliki kerentanan yang meningkat terhadap kecemasan dan depresi.
Di mana orang dewasa yang mengalami intimidasi di masa kanak-kanak mengalami peningkatan tingkat agorafobia (takut keramaian), kecemasan umum, dan gangguan panik.
Hal ini terjadi karena ada hubungan yang kuat antara bullying dan PTSD.
Sebagai contoh, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health menemukan bahwa di antara anak-anak yang pernah mengalami bullying di sekolah, 50 persen memiliki tanda-tanda PTSD.
Studi lain, yang diterbitkan dalam Journal of Abnormal Child Psychology, menetapkan bahwa di antara anak-anak yang diintimidasi, 27 persen anak laki-laki dan 40 persen anak perempuan memiliki gejala klinis PTSD.
Gejala PTSD akibat bullying pada anak
Anak-anak yang pernah mengalami bullying mungkin memiliki reaksi dan trauma yang berbeda.
Baca Juga: Tips Mengatasi Depresi Tanpa Obat, Bagaimana Caranya? Yuk Simak
Beberapa anak mungkin memiliki tanda-tanda lahiriah dari stres, kecemasan, dan agitasi, sementara yang lain mungkin lebih menyimpan perasaan mereka dan mengalami pikiran atau kilas balik yang mengganggu.
Orang yang mengalami PTSD akibat bullying memiliki banyak gejala yang sama dengan orang yang mengalami PTSD di antaranya:
- Mudah terkejut
- Mengalami mimpi buruk
- Memiliki kilas balik ke pengalaman traumatis
- Mengalami kesulitan untuk tertidur dan tetap tertidur
- Memiliki pikiran yang mengganggu dan menakutkan
- Menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi
- Merasa bersalah
Baca Juga: Berikut Ini Alasan Pentingnya Memiliki Waktu untuk Diri Sendiri
- Mengalami kesulitan berkonsentrasi
- Menghindari situasi yang memicu ingatan tentang peristiwa traumatis
Kawan Puan yang sudah menjadi orang tua harus paham bahwa anak yang mengalami PTSD itu bisa karena peristiwa yang berbeda, kondisi ini tergantung pada usia anak.
Misalnya, anak-anak yang sangat kecil mungkin mengalami lebih banyak kecemasan akan perpisahan.
Contoh lainnya, anak-anak usia sekolah mungkin mengalami rasa malu yang meningkat dan mengalami kesulitan berkonsentrasi di sekolah.
Kemudian pada anak remaja mungkin mengalami lebih banyak depresi dan mungkin melakukan tindakan menyakiti diri sendiri.
Nah, sebagai orang tua apabila Kawan Puan merasakan bahwa anak menimbulkan gejala PTSD di atas, alangkah baiknya segera diatasi, jangan ragu pula untuk meminta bantuan psikolog dan psikiater.
(*)