Parapuan.co - Jelang Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2022, hak dasar kesehatan bagi perempuan penting untuk diprioritaskan semua pihak.
Pasalnya, hak dasar kesehatan bagi perempuan kerap dinomorduakan hingga merapuhkan kualitas hidup perempuan.
Padahal, seiring berjalannya waktu, akses kesehatan menjadi lebih baik dan terfokus ke dalam masalah kesehatannya.
Hak dasar kesehatan perempuan tercantum dalam hak-hak utama perempuan dari dari Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
CEDAW ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB.
Hak dalam bidang kesehatan bagi perempuan yaitu berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat melahirkan dan hak tersebut harus diupayakan oleh negara.
Negara juga berkewajiban menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan.
Selain itu, Laporan Independen Komnas Perempuan kepada Pelapor Khusus PBB tentang Hak Atas Kesehatan (24 Maret 2017), berisi tentang:
1. Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Baca Juga: 5 Fakta Menarik Hari Perempuan Internasional 2022, Angkat Tema Lawan Bias Gender
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia seperti kekerasan fisik, serangan seksual, kekerasan psikologis, dan kekerasan ekonomi dapat berdampak bagi kesehatan perempuan.
Pada kategori pertama, layanan kesehatan yang disediakan oleh institusi negara seperti polisi, pusat kesehatan dan trauma yang dikelola oleh Kementerian Sosial.
Kategori kedua, layanan disediakan oleh gabungan institusi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang dikenal sebagai Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak(P2TP2A).
Kategori ketiga adalah layanan bagi perempuan korban kekerasan yang disediakan oleh organisasi masyarakat sipil.
Tipe layanan ini bergantung pada komitmen masyarakat dan kesukarelawanan, ada lebih dari 115 penyedia layanan berbasis komunitas menjadi mitra jaringan Komnas Perempuan.
2. Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual
Ada empat kategori khusus dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual, bahkan ada yang mengakibatkan tingginya kematian ibu dan bayi.
Kategori tersebut adalah kriminalisasi aborsi, perkawinan anak, pemotongan dan perlakuan genitalia perempuan (P2GP), dan kematian ibu.
Untuk aborsi, Komnas Perempuan merekomendasikan Kementerian Kesehatan untuk menyediakan dan melatih tenaga medis profesional guna memberikan layanan aborsi yang aman dan legal bagi korban perkosaan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Baca Juga: Kesehatan Reproduksi Perempuan: Kenali 7 Tanda Vagina Tidak Sehat
Untuk perkawinan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah menyediakan modul untuk mencegah pernikahan anak melalui keterlibatan kementerian pemerintah terkait, gerakan masyarakat sipil, dan siswa di berbagai sekolah.
Adanya Surat Edaran tentang Usia Pernikahan Dewasa yang menetapkan 21 tahun sebagai usia minimum bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah.
Untuk P2GP, yaitu akibat langsung dari praktik sunat perempuan dan merupakan prosedur yang tidak memiliki manfaat medis.
P2GP dapat merusak genital perempuan, terutama klitoris, dan memiliki memiliki dampak negatif terhadap fungsi reproduksi perempuan dan melanggar prinsip medis.
Oleh sebab itu, praktik pelanggaran terhadap hak kesehatan dan reproduksi perempuan sangat penting untuk dihapuskan.
Untuk angka kematian ibu, sangat berkaitan dengan minimnya layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang tersedia bagi perempuan.
Selain itu, terbatasnya kesempatan bagi perempuan untuk mengambil keputusan terkait tubuhnya.
Pernikahan anak, tidak adanya akses terhadap aborsi aman, dan akses terhadap informasi kesehatan reproduksi dan seksual adalah penyebab-penyebab tingginya angka kematian ibu.
Baca Juga: Kesehatan Reproduksi Perempuan: Kenali 4 Fase Siklus Menstruasi Normal
Oleh karena itu, negara perlu untuk menyediakan akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang memadai bagi perempuan.
Selain itu, stigma-stigma negatif terhadap perempuan yang pergi sendirian untuk periksa ke dokter kandungan perlu dihentikan.
Pasalnya, setiap perempuan perlu untuk mendapatkan akses kesehatan dan mengambil keputusan terkait tubuhnya sendiri.
Nah, itulah hak dasar kesehatan bagi perempuan ya, Kawan Puan.
(*)