"Tempat kerja menjadi salah satu lokasi rentan terjadinya kekerasan, yaitu 156 pelaporan," kata Ratna, dilansir dari rilis persnya yang tayang di Kompas.com pada Senin (29/11/2021).
"Tak hanya itu, sebanyak 79 korban mengalami kekerasan oleh rekan kerjanya dan 29 korban oleh atasannya," tambahnya.
Data Simfoni PPPA mencatat, sepanjang Januari-Oktober 2021 telah terjadi 7.818 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 7.917 korban.
Menurut Ratna, kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja merupakan fenomena gunung es yang dapat terjadi kepada siapa pun dan dimana pun.
"Perlu dilakukan penyelesaian secara komprehensif dari hulu ke hilir untuk melindungi pekerja perempuan dari kekerasan, baik itu fisik, psikis, seksual, dan lain sebagainya," ujar Ratna.
Fakta tersebut juga didukung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga.
Ia mengatakan jika masalah ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan khususnya di tempat kerja masih terjadi hingga saat ini.
Adanya hal ini, kata dia, berdampak pada kesenjangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam beberapa hal. Di antaranya kesenjangan terhadap akses, partisipasi, kontrol, dan penerima manfaat pembangunan.
"Hal ini sangat mungkin terjadi karena masih ada para pemangku kepentingan serta pengambil keputusan baik dari unsur eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga masyarakat dan dunia usaha yang masih menyamaratakan keberadaan masyarakat sebagai kelompok sasaran," kata Bintang di acara Penyerahan Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tahun 2020 secara daring dikutip dari Kompas.com pada Rabu (13/10/2021).
Ia juga menambahkan, sikap menyamaratakan yang disebut sebagai netral gender itu berpotensi mengakibatkan kealpaan dalam mengidentifikasi kebutuhan yang beragam.
Termasuk kenyataan adanya kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari setiap kelompok masyarakat.
Selain itu, pembangunan yang dilakukan di Indonesia juga belum dirasakan setara oleh para perempuan.
Padahal, pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat.
"Namun seringkali yang terjadi adalah pembangunan tersebut belum dirasakan secara setara oleh kaum perempuan," tambah Bintang.
Bintang mengatakan, penyebab adanya ketidaksetaraan di antaranya karena kebijakan, program dan kegiatan pembangunan belum sepenuhnya memperhatikan perbedaan kebutuhan, pengalaman, dan kondisi lainnya di masyarakat.
Baik itu yang bersifat kodrati maupun hasil konstruksi sosial yang terjadi. (*)