“Perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi agen pembangunan, tapi dibatasi pada peran dalam keluarga. Hal inilah yang kemudian kita kenal dengan domestifikasi perempuan atau yang lebih dikenal sebagai ibuisme dalam istilah Julia Suryakusuma," terangnya.
Kemudian masuklah ke era integrasi, di mana ilmu pengetahuan mulai berkembang.
“Maka kemudian muncullah Islamic Banking, Islami Management, Islamic this, Islamic that,” jelas pemilik karya Gender and Self in Islam itu.
Era terakhir ialah proliferasi, yang mana mengkampanyekan pengalaman perempuan dan agensi perempuan sebagai agen perubahan.
“Mereka berkontribusi pada diskusi-diskusi mengenai perempuan dan diskusi ini sangat penting karena mereka menyejajarkan perempuan sebagai ethical agent (agen etika atau perubahan)," kata Etin.
Etin juga menyampaikan jika pandangan Islam tidak pernah menarasikan kebenaran mutlak mengenai karier perempuan.
“Terus terang saja, menurut saya ini ada kaitannya dengan budaya kodrat,” tegas Etin.
Etin juga menambahkan jika pemikiran patriarki yang melarang perempuan untuk berkarier biasanya muncul lewat pola pengasuhan atau pengajaran di lingkungan sekitar.
“Sejak zaman Soeharto, kita sudah dicekoki nilai-nilai keibuan dan pernikahan. Seolah kalau kita tidak menjadi ibu atau menikah, ada yang kurang atau something wrong with us,” tutur Board of Advisor untuk American Institute for Indonesian Studies itu.
Kawan Puan, demikian penyebab minimnya perempuan berkarier di Indonesia menurut Prof Etin Anwar. (*)