Parapuan.co- Pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya, diperingati sebagai International Women's Day atau yang dikenal dengan Hari Perempuan Internasional.
Menjelang perayaan Hari Perempuan Internasional, ternyata masih sedikit peran perempuan di bidang karier khususnya di Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Prof Etin Anwar yang merupakan Pakar Kajian Sosial Islam.
Melansir website resmi nu.or.id, Etin mengungkapkan kondisi perempuan Indonesia di dalam dunia berkarier masih banyak memiliki keterbatasan.
Pernyataan Etin tersebut didukung dengan data yang dikeluarkan World Economic Forum.
Data tersebut menunjukkan bahwa gender gap (kesenjangan gender) Indonesia berada di peringkat 85.
“Dalam keterbatasan itu, kita harus melihat genealogi karier yang dalam buku saya itu dibagi dalam lima era, yaitu era emansipasi, asosiasi, pembangunan, integrasi, dan proliferasi,” ungkap Profesor yang mengajar Hobart and William Smith Colleges, New York, Amerika Serikat ini pada Jumat (17/9/2021).
Etin tak memungkiri jika masih banyak orang yang melarang perempuan berkarier di tengah masyarakat patriarkal.
Apalagi jika perempuan sudah menikah, dianjurkan untuk berada di dalam rumah dan mengurus kerja-kerja domestik tanpa diberi kebebasan untuk memilih sendiri.
Baca juga: Hari Perempuan Internasional, Ini Rintangan yang Dihadapi Perempuan Bekerja di Indonesia
Penulis buku Feminisme Islam ini, juga mengungkapkan betapa minimnya peran perempuan di bidang pemerintahan dan pendidikan.
“Di politik, keterwakilan perempuan di jabatan kepemimpinan di pemerintahan minim. Di bidang pendidikan, jumlah dosen yang diangkat menjadi dekan atau rektor (perempuan) juga masih sangat sedikit,” kata ilmuwan perempuan kelahiran Tasikmalaya, 4 Agustus 1967 ini.
Padahal, menurut doktor lulusan bidang riset Philosophy, Interpretation, and Culture Binghamton University ini, era emansipasi merupakan era promosi pendidikan di Indonesia.
Di era itu, perempuan mulai mengembangkan karier dan memperluas peran publik mereka yang direpresentasikan oleh RA Kartini, Dewi Sartika, Rahmah El Yunusiyyah, dan masih banyak lagi.
Usai era emansipasi, munculah era asosiasi yang berbentuk ekspansi para perempuan yang cukup besar di ruang publik.
Pada era itu, Etin Anwar mengatakan mulai ada gerakan perempuan sendiri di Budi Utomo, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah, seperti Putri Mardika, Muslimat NU, dan Aisyiyah.
“Perempuan di era tersebut terlibat dalam penyebaran dakwah ajaran Islam yang penting dalam hubungannya dengan jaringan karier karena perempuan mendapatkan exposure ke pendidikan,” jelas Etin.
Setelah itu, masuk ke era pembangunan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang berpendidikan dan pilihan karier yang lebih banyak.
Namun meski di era tersebut karier perempuan meningkat, pemerintah memaksakan ideologi gender atas nama kodrat.
Baca juga: Naila Rizqi, Co-Coordinator Women's March Jakarta yang Merasa 'Salah' Masuk Jurusan Hukum
“Perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi agen pembangunan, tapi dibatasi pada peran dalam keluarga. Hal inilah yang kemudian kita kenal dengan domestifikasi perempuan atau yang lebih dikenal sebagai ibuisme dalam istilah Julia Suryakusuma," terangnya.
Kemudian masuklah ke era integrasi, di mana ilmu pengetahuan mulai berkembang.
“Maka kemudian muncullah Islamic Banking, Islami Management, Islamic this, Islamic that,” jelas pemilik karya Gender and Self in Islam itu.
Era terakhir ialah proliferasi, yang mana mengkampanyekan pengalaman perempuan dan agensi perempuan sebagai agen perubahan.
“Mereka berkontribusi pada diskusi-diskusi mengenai perempuan dan diskusi ini sangat penting karena mereka menyejajarkan perempuan sebagai ethical agent (agen etika atau perubahan)," kata Etin.
Etin juga menyampaikan jika pandangan Islam tidak pernah menarasikan kebenaran mutlak mengenai karier perempuan.
“Terus terang saja, menurut saya ini ada kaitannya dengan budaya kodrat,” tegas Etin.
Etin juga menambahkan jika pemikiran patriarki yang melarang perempuan untuk berkarier biasanya muncul lewat pola pengasuhan atau pengajaran di lingkungan sekitar.
“Sejak zaman Soeharto, kita sudah dicekoki nilai-nilai keibuan dan pernikahan. Seolah kalau kita tidak menjadi ibu atau menikah, ada yang kurang atau something wrong with us,” tutur Board of Advisor untuk American Institute for Indonesian Studies itu.
Kawan Puan, demikian penyebab minimnya perempuan berkarier di Indonesia menurut Prof Etin Anwar. (*)