Parapuan.co - Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) yang jatuh tiap tanggal 8 Maret ialah salah satu momen untuk mengapresiasi dan merayakan pencapaian setiap perempuan di dunia, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Tak terkecuali pencapaian dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan hak perempuan, seperti yang dilakukan oleh Kate Walton, aktivis asal Australia yang kini berjuang dan aktif di berbagai kegiatan untuk membela hak perempuan dan kelompok minoritas.
Berasal dari kelompok ras kulit putih dan kelas menengah ke atas, Kate Walton mengaku tak pernah mengira akan seperti saat ini karena dirinya bahkan pernah menjadi seorang anti-feminis dan tidak mendukung gerakan yang dilakukan oleh banyak komunitas feminis.
Saat dihubungi PARAPUAN, Kate bercerita hal itu lantaran ia besar di Australia sebagai kelompok mayoritas yang tidak pernah mengalami isu-isu besar yang dapat menghambat identitasnya.
Akan tetapi, minatnya terhadap isu kesetaraan gender, hak perempuan, dan kelompok minoritas lainnya berkembang ketika ia mengikuti sebuah program dari pemerintah Australia, yakni Australian Youth Ambassadors for Development (AYAD).
Lewat AYAD, perempuan lulusan Australia National University dan Curtin University itu berkesempatan untuk menjadi relawan di Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) cabang wilayah Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 2012.
“Aku merasa kayaknya enggak relevan lagi feminisme itu dan feminisme itu enggak perlu. Tapi lama-lama belajar, ternyata enggak begitu. Karena kalau kita di lingkungan kita aja, enggak ketemu dengan banyak orang, ya akan gitu saja (pola pikirnya),” cerita Kate.
Di Kendari-lah, perempuan yang fasih berbahasa Indonesia itu mulai mendalami isu-isu tentang perempuan dan mulai berkontribusi sebagai aktivis di Indonesia.
“Di Kendari dengan Koalisi Perempuan Indonesia, itu dimana aku benar-benar terpapar dengan feminisme dan gerakan hak perempuan,” sambungnya.
Baca Juga: Terpilih Jadi Figur Barbie Global Role Model, Inilah Sosok Butet Manurung
“Mereka bekerja untuk hak buruh, hak pekerja imigran, hak pekerja sawit, hak nelayan perempuan, dan hal-hal seperti itu yang sangat membuka mataku dan membuat aku merasa mungkin aku juga bisa berkontribusi di sini,” kenangnya lagi.
Setahun berkontribusi bersama aktivis perempuan hebat lainnya di KPI, Kate yang juga merupakan seorang jurnalis lepas untuk sejumlah media terkemuka, akhirnya pindah ke Jakarta untuk membantu Aisyiyah dengan Majelis Kesejahteraan Sosial mengurus panti sosial anak-anak.
Setelah sembilan bulan, ia ditugaskan lagi di bidang tata kelola pemerintahan pada proyek USAID, di mana Kate turun langsung dan bekerja sama dengan bidan di puskesmas untuk membantu meningkatkan layanan.
Suka duka selama membela hak perempuan
Perjalanannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender, hak perempuan, hak minoritas, dan hak kelompok marjinal tentu tak pernah mudah.
Apalagi ketika melihat perempuan di sekitarnya mengalami kekerasan seksual yang membuatnya merasa marah dan sedih, tetapi tidak bisa mendapatkan perlindungan yang semestinya.
Oleh sebab itu, menurut Kate, negara yang seharusnya melindungi setiap warga negara di dalamnya, justru merupakan tantangan terbesar yang harus dihadapinya.
“Menurutku, negara, bukan hanya di Indonesia, tapi juga Australia, itu merupakan tantangan terbesar. Karena negara tidak benar-benar peduli tentang hak perempuan dan kesetaraan gender,” jelasnya menyayangkan kenyataan yang ada.
Meski pernah merasa memiliki privilese sebagai orang kulit putih, salah satu penggagas Women’s March dan bagian dari Jakarta Feminist ini juga tak jarang dianggap lemah atau terlalu kritis.
Baca Juga: Naila Rizqi, Co-Coordinator Women's March Jakarta yang Merasa 'Salah' Masuk Jurusan Hukum
Kendati demikian, hal tersebut tidak lantas membuatnya menyerah, sebab ada pula hal menyenangkan yang membuat Kate terus terinspirasi untuk berjuang.
Salah satunya paling berkesan dan tidak terlupakan adalah ketika ia dan rekan-rekan dari Jakarta Feminist menggagas Women’s March Jakarta, sebuah aksi solidaritas untuk memperingati momen Hari Perempuan Internasional yang digelar sebagai ruang untuk ekspresi diri, pada 2017.
“Benar-benar mengharukan melihat anak muda turun ke jalan. Sebelum jam delapan pagi di hari Sabtu, mereka turun ke jalan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan minoritas, dan kelompok marjinal lainnya di Jakarta,” tuturnya sambil tersenyum lebar.
Kate kemudian mengatakan, “It’s just great to see so many young people turun ke jalan untuk menyuarakan isu-isu, it’s just amazing to have been a part of that. Aku enggak akan pernah melupakan itu.”
Pengalaman lainnya yang tak kalah berkesan bagi Kate adalah ketika ia bisa menjadi bagian dalam pembuatan situs Cari Layanan, direktori untuk lembaga layanan untuk korban dan penyintas kekerasan berbasis gender di Indonesia.
“Kita membangun itu karena melihat ada sebuah kekosongan di Indonesia karena tidak ada satupun nomor telepon yang bisa ditelepon untuk bertanya layanan tersebut. Selain itu banyak website yang sudah ada, tetapi informasinya sering tidak update, nomor ponselnya tidak aktif,” kata Kate menjelaskan kisah di balik pembuatan situs itu.
Perempuan berusia 34 tahun itu mengaku senang karena dapat melihat ribuan orang membuka situs yang dikembangkannya untuk mendapatkan informasi yang bisa membantu mereka.
“Aku merasa itu benar-benar sesuatu yang sangat bermanfaat untuk mempermudah semua orang, baik korban ataupun temannya untuk mendapatkan informasi dan bantuan itu,” lanjutnya.
Mimpi Kate Walton untuk perempuan di seluruh dunia
Baca Juga: Perjalanan Karier Rossa, Penyanyi Indonesia yang Terkenal hingga Mancanegara
Dalam rangka Hari Perempuan Internasional, Kate memiliki mimpi yang sederhana saja, yaitu agar suara perempuan di seluruh dunia bisa didengar.
Menurutnya, saat ini sudah bukan waktunya untuk mendorong agar perempuan bisa menyuarakan haknya dan isu yang mereka hadapi lagi.
Sebab, dari waktu ke waktu, kita bisa melihat bagaimana isu yang dialami perempuan satu dan yang lainnya tetap sama.
Di samping itu, tak dimungkiri sudah banyak pula perempuan yang berani menyuarakan pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya.
“Orang sudah tahu masalahnya apa, orang sudah tahu perempuan mengalami apa. Kita tidak harus speak up lagi, karena sudah berapa banyak korban pemerkosaan yang speak up? Jadi kita enggak perlu speak up lagi sebenarnya,” pungkas Kate.
Untuk itu, Kate yang saat ini sudah kembali menetap di Canberra, Australia itu berharap perempuan dapat didengar oleh orang-orang di sekitarnya.
“Baik itu negara, masyarakat, para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, hakim dan jaksa, semuanya harus mendengarkan perempuan yang sudah speak up tentang apa yang menjadi pengalaman mereka. Mau itu tentang kekerasan, pengalaman mereka, pekerjaan, lingkungan, isu adat. Ini sudah waktunya kita harus sudah didengarkan,” tegasnya.
Itulah sosok Kate Walton, perempuan asal Australia yang aktif memperjuangkan kesetaraan gender, hak perempuan, hak kelompok minoritas dan marjinal di Indonesia.
Baca Juga: Marion Jola, Memulai dari Indonesian Idol hingga Tampil di Panggung Internasional
Semoga apa yang Kate mimpikan untuk perempuan di seluruh dunia bisa segera tercapai dan dirasakan dalam waktu dekat ini, ya! (*)