Jadi Kepala Rumah Tangga, Nani Zulminarni Lawan Stigma Buruk Janda

Aulia Firafiroh - Kamis, 17 Maret 2022
Nani Zulminarni PEKKA
Nani Zulminarni PEKKA Parapuan

"Menurut saya, janda itu kepala keluarga. Saya ingin menggaris bawahi bahwa, ketika perempuan bercerai atau suaminya meninggal, atau dia ditinggal, dia sesungguhnya bukan perempuan yang terhina. Tapi perempuan yang memiliki derajat, harkat, dan martabat yang tinggi. Karena kemudian dia menjadi kepala keluarga yang melanjutkan kehidupan keluarga itu, memastikan anaknya bersekolah, terlindungi, dan sebagainya," tambahnya. 

Stigma yang dialami Nani sebagai janda

Secara eksklusif kepada PARAPUAN, Nani menceritakan bagaimana pengalaman dirinya mengalami stigma karena berstatus janda.

"Pertama, saya mengalaminya ketika proses perceraian. Pada waktu itu saya harus menyampaikan alasan untuk bercerai. Jadi ada kronologisnya. Saat di pengadilan agama, kebetulan hakim perempuan yang menangani kasus saya. Hakim perempuan itu ngomong ke saya 'mungkin suaminya ibu begitu sama perempuan lain, ya karena ibunya terlalu sibuk'. Jadi dipersidangan itu, saya menjadi orang yang disalahkan. Bahkan hakimnya bilang 'biasa laki-laki seperti itu, karena akan selalu mencari orang yang memperhatikan dia'," cerita Nani.

Nani tidak menyangka jika kalimat tersebut juga bisa keluar dari sesama perempuan yang menurutnya harus saling mengerti dan menguatkan.

"Saya saat itu sangat marah, karena kata-kata itu keluar dari seorang hakim yang sama-sama perempuan, yang harusnya ia juga bisa lebih kritis untuk melihat. Kadang perempuan mengajukan perceraian, ya karena dia harus melakukannya dan tidak punya pilihan," tambahnya.

Ia kemudian melanjutkan cerita soal stigma yang ia alami saat dulu bekerja di LSM.

"Kedua, saya mengalami stigma saat menjadi pemimpin dan direktur sebuah lembaga besar. Dan membawahi banyak komunitas perempuan di mana-mana. Tapi saya mendengar, jika tim saya membicarakan status saya. Mereka bilang, nanti gimana ya caranya menyampaikan ke ibu-ibu bahwa status saya bercerai. Karena itu mengganggu image perempuan pemimpin yang jadi role model. Yang idealnya memiliki keluarga utuh dan harmonis," lanjut Nani.

Dari kejadian itu, Nani menyadari bahwa ada standar tertentu yang dibuat masyarakat untuk mengatur bagaimana perempuan yang ideal itu.

Baca juga: Perjuangan Poppy Dihardjo agar Nama Ibu Tunggal Bisa Dicantumkan Dalam Ijazah Anak

"Hal itu lalu menyadarkan saya jika ada standar ideal yang ditetapkan masyarakat untuk menggambarkan perempuan baik-baik. Tentu saja itu bentuk diskriminasi kepada perempuan yang berani mengambil keputusan dan bisa membela harkat dan martabatnya," ujar Nani.

Diskriminasi yang dialami Nani ternyata tidak berhenti di situ. Usai ia mengundurkan diri dari LSM, lalu bekerja di Komnas Perempuan dan mendirikan Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga (PEKKA), ia tetap mengalaminya.

"Ketiga, saat saya sudah di PEKKA, saya ditugaskan ke Aceh. Jadi di Aceh saya bertemu banyak ibu-ibu, janda, yang merupakan korban konflik di sebuah mushola dan di situ juga ada bapak-bapak yang juga pemimpin non formal di situ. Nah, sudah jadi strategi saya untuk merubah mindset ibu-ibu bahwa it's okay jika saya adalah perempuan kepala rumah tangga. Jadi saya memperkenalkan diri dan mengatakan 'saya Nani, saya perempuan kepala keluarga, dan bercerai, dengan anak tiga'," cerita sarjana Institut Pertanian Bogor jurusan Perikanan ini.

"Tiba-tiba kepala desa yang merupakan seorang laki-laki, kemudian dia berdiri dan tunjuk muka saya dari jauh gitu. Lalu dia bilang 'apa ibu bilang? Ibu bercerai? Bagaimana mungkin? Bagaimana ibu mau membantu perempuan-perempuan di desa saya, kalau ibu ngurus suami saja nggak becus'," tambahnya.

Sebelum mengakhiri pembicaraan, Nani memberikan pesan khususnya para perempuan dalam rangka Hari Perempuan Internasional.

"Maka dari itu, saya mengajak semua perempuan untuk break the bias sesuai dengan tema Hari Perempuan Internasional. Saya mau mengajak perempuan untuk melawan bias-bias yang mungkin ada di kepala kita dan membatasi diri kita. Kita harus juga berani untuk keluar dari zona-zona yang membatasi diri kita untuk menjadi manusia seutuhnya," tutup Nani.

Kawan Puan, demikian tadi cerita Nani Zulminarni soal stigma yang didapatnya mengenai status janda.

Semoga kita bisa terus mendukung setiap pilihan perempuan, termasuk keputusannya untuk bercerai atau lepas dari relasi yang tidak sehat. (*)

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh


REKOMENDASI HARI INI

6 Bahan Alami untuk Membantu Mengatasi Masalah Biang Keringat