Parapuan.co- Nani Zulminarni yang merupakan perempuan kepala rumah tangga menceritakan keluh kesahnya kepada PARAPUAN soal stigma janda. Perempuan kelahiran 10 September 1962 mengawali cerita tentang pengalamannya bercerai dan menjadi 'janda'.
"Akhir tahun 90-an, tepatnya 1998, waktu Indonesia mengalami krisis, saya juga mengalami krisis di dalam rumah tangga saya. Lalu saya bercerai di tahun 2000," cerita Nani pada Senin (14/3/2022).
Baginya, situasi perceraian saat itu merugikan kariernya sebagai Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) karena ada stigma yang tidak baik tentang perempuan bercerai.
"Nah, karena saya sebagai direktur perempuan, ternyata situasi perceraian dianggap mengganggu karier saya. Karena saya di sini, dianggap sebagai role model perempuan tapi kok cerai. Jadi saya mengundurkan diri sebagai direktur," cerita ibu tiga anak ini.
Ia juga menceritakan bagaimana proses yang melelahkan dan tidak menyenangkan bagi perempuan.
"Saat bercerai, saya melalui proses pengadilan yang sangat pahit. Yang pertama, soal perceraian itu sendiri, yang kedua soal perebutan hak asuh anak. Dari proses itu, saya akhirnya tahu betapa susahnya jadi perempuan kepala keluarga," ujar Nani
Bagi Nani, tidak ada orang yang menginginkan pernikahan mereka harus berakhir dengan perceraian. Tapi hal itu harus terjadi demi kebaikan masing-masing.
Ia mengaku, banyak hal yang harus ia korbankan bercerai dengan sang mantan suami.
"Sejujurnya, perceraiaan ini membuat saya hancur. Saya harus kehilangan pekerjaan yang saya tekuni sekian lama. Selain itu, perceraian ini juga melukai hati anak-anak saya. Hal itu jelas mempengaruhi penghasilan dan reaksi keluarga saya," curhat perempuan paruh baya tersebut.
Baca juga: Nani Zumilnarni, Pendiri Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga
Meski ia harus melalui proses yang sulit untuk bercerai, Nani bisa melewati semuanya. Namun ia tidak membayangkan bagaimana susahnya proses perceraian bagi perempuan yang tidak memiliki akses pendidikan.
"Saya membayangkan, bagaimana jika hal yang terjadi kepada saya, terjadi kepada para perempuan di desa-desa yang tidak seperti saya. Yang tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan setinggi yang saya peroleh, tidak punya teman sebanyak yang saya punya. Pasti mereka menghadapi kondisi yang lebih susah dari saya," ujar perempuan lulusan Magister Sosiologi North Caroline University Amerika Serikat ini.
Usai kehilangan pekerjaan yang sudah ditekuninya selama bertahun-tahun, Nani akhirnya bekerja di Komnas Perempuan.
"Dari tugas Komnas Perempuan inilah, saya kemudian menggagas suatu inisiatif yaitu perempuan kepala keluarga untuk menggambarkan perempuan yang bercerai," kata Nani.
Program tersebut dibuat Nani karena ia merasa janggal dengan istilah 'janda' yang disematkan pada perempuan yang bercerai.
"Jadi waktu itu, istilah yang masih dipakai itu janda. Menurut saya, istilah janda ini problematik ya. Saya sering kali dihina karena saya janda. Akhirnya saya berpikir, apa sih makna istilah janda ini sebenarnya." cerita Nani soal pengalamannya sebagai janda.
Karena ia memiliki pemikiran kritis, Nani kembali mempertanyakan apa definisi janda sesungguhnya.
"Setelah dipikir-pikir, janda ini sebenarnya adalah perempuan yang harus menanggung tanggung jawab sebagai kepala keluarga sendiri. Kemudian saya cari terminologinya dari berbagai sumber. Lalu ada istilahnya Women Headed Househoulds Journal," jelas Nani.
Nani juga melakukan pemaknaan ulang soal definisi janda yang selama ini terkesan memojokkan perempuan.
Baca juga: Cerita Poppy Dihardjo Soal Stigma Janda yang Disematkan Pada Dirinya
"Menurut saya, janda itu kepala keluarga. Saya ingin menggaris bawahi bahwa, ketika perempuan bercerai atau suaminya meninggal, atau dia ditinggal, dia sesungguhnya bukan perempuan yang terhina. Tapi perempuan yang memiliki derajat, harkat, dan martabat yang tinggi. Karena kemudian dia menjadi kepala keluarga yang melanjutkan kehidupan keluarga itu, memastikan anaknya bersekolah, terlindungi, dan sebagainya," tambahnya.
Stigma yang dialami Nani sebagai janda
Secara eksklusif kepada PARAPUAN, Nani menceritakan bagaimana pengalaman dirinya mengalami stigma karena berstatus janda.
"Pertama, saya mengalaminya ketika proses perceraian. Pada waktu itu saya harus menyampaikan alasan untuk bercerai. Jadi ada kronologisnya. Saat di pengadilan agama, kebetulan hakim perempuan yang menangani kasus saya. Hakim perempuan itu ngomong ke saya 'mungkin suaminya ibu begitu sama perempuan lain, ya karena ibunya terlalu sibuk'. Jadi dipersidangan itu, saya menjadi orang yang disalahkan. Bahkan hakimnya bilang 'biasa laki-laki seperti itu, karena akan selalu mencari orang yang memperhatikan dia'," cerita Nani.
Nani tidak menyangka jika kalimat tersebut juga bisa keluar dari sesama perempuan yang menurutnya harus saling mengerti dan menguatkan.
"Saya saat itu sangat marah, karena kata-kata itu keluar dari seorang hakim yang sama-sama perempuan, yang harusnya ia juga bisa lebih kritis untuk melihat. Kadang perempuan mengajukan perceraian, ya karena dia harus melakukannya dan tidak punya pilihan," tambahnya.
Ia kemudian melanjutkan cerita soal stigma yang ia alami saat dulu bekerja di LSM.
"Kedua, saya mengalami stigma saat menjadi pemimpin dan direktur sebuah lembaga besar. Dan membawahi banyak komunitas perempuan di mana-mana. Tapi saya mendengar, jika tim saya membicarakan status saya. Mereka bilang, nanti gimana ya caranya menyampaikan ke ibu-ibu bahwa status saya bercerai. Karena itu mengganggu image perempuan pemimpin yang jadi role model. Yang idealnya memiliki keluarga utuh dan harmonis," lanjut Nani.
Dari kejadian itu, Nani menyadari bahwa ada standar tertentu yang dibuat masyarakat untuk mengatur bagaimana perempuan yang ideal itu.
Baca juga: Perjuangan Poppy Dihardjo agar Nama Ibu Tunggal Bisa Dicantumkan Dalam Ijazah Anak
"Hal itu lalu menyadarkan saya jika ada standar ideal yang ditetapkan masyarakat untuk menggambarkan perempuan baik-baik. Tentu saja itu bentuk diskriminasi kepada perempuan yang berani mengambil keputusan dan bisa membela harkat dan martabatnya," ujar Nani.
Diskriminasi yang dialami Nani ternyata tidak berhenti di situ. Usai ia mengundurkan diri dari LSM, lalu bekerja di Komnas Perempuan dan mendirikan Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga (PEKKA), ia tetap mengalaminya.
"Ketiga, saat saya sudah di PEKKA, saya ditugaskan ke Aceh. Jadi di Aceh saya bertemu banyak ibu-ibu, janda, yang merupakan korban konflik di sebuah mushola dan di situ juga ada bapak-bapak yang juga pemimpin non formal di situ. Nah, sudah jadi strategi saya untuk merubah mindset ibu-ibu bahwa it's okay jika saya adalah perempuan kepala rumah tangga. Jadi saya memperkenalkan diri dan mengatakan 'saya Nani, saya perempuan kepala keluarga, dan bercerai, dengan anak tiga'," cerita sarjana Institut Pertanian Bogor jurusan Perikanan ini.
"Tiba-tiba kepala desa yang merupakan seorang laki-laki, kemudian dia berdiri dan tunjuk muka saya dari jauh gitu. Lalu dia bilang 'apa ibu bilang? Ibu bercerai? Bagaimana mungkin? Bagaimana ibu mau membantu perempuan-perempuan di desa saya, kalau ibu ngurus suami saja nggak becus'," tambahnya.
Sebelum mengakhiri pembicaraan, Nani memberikan pesan khususnya para perempuan dalam rangka Hari Perempuan Internasional.
"Maka dari itu, saya mengajak semua perempuan untuk break the bias sesuai dengan tema Hari Perempuan Internasional. Saya mau mengajak perempuan untuk melawan bias-bias yang mungkin ada di kepala kita dan membatasi diri kita. Kita harus juga berani untuk keluar dari zona-zona yang membatasi diri kita untuk menjadi manusia seutuhnya," tutup Nani.
Kawan Puan, demikian tadi cerita Nani Zulminarni soal stigma yang didapatnya mengenai status janda.
Semoga kita bisa terus mendukung setiap pilihan perempuan, termasuk keputusannya untuk bercerai atau lepas dari relasi yang tidak sehat. (*)