"Misalnya, dalam budaya Barat, putih dikaitkan dengan kemurnian dan awal yang baru. Sedangkan dalam budaya Timur dan Asia, putih dikaitkan dengan kematian dan duka,” ujar Forbes-Bell lagi.
Ia pun menekankan bahwa sebaiknya dopamine dressing dinilai berdasarkan pengalaman pribadi, bukan digeneralisir atau bersifat universal.
Menurut Forbes-Bell, pandangannya ini sesuai dengan teori enclothed cognition yang mana tiap orang kerap mengaitkan emosinya terhadap atribut yang dipakai.
Yaitu saat kita mengenakan pakaian tertentu, memiliki asosiasi yang kuat untuk mengubah perasaan dan cara kita berperilaku.
"Jadi, misalnya, jika kamu mengasosiasikan jumper kuning dengan kebahagiaan, maka kamu akan mewujudkan perasaan bahagia itu saat memakainya,” ujarnya.
Namun penting untuk dipahami bahwa perasaan tersebut bersifat sangat subjektif.
Bagi sebagian orang, mungkin warna-warna cerah bisa memberikan perasaan bahagia tertentu, namun mungkin bagi sebagian lainnya tidak demikian.
Ada saja yang menganggap bahwa mengenakan pakaian warna hitam membuat orang tertentu merasa lebih bahagia, bersemangat atau bahkan berwibawa dibandingkan memakai pakaian warna cerah.
"Ini semua tergantung pada asosiasi pribadi mereka dengan warna tertentu," tambahnya lagi.
Dengan begitu, menurut Forbes-Bell, sangatlah tidak tepat menentukan satu warna tertentu sebagai gambaran dari suasana hati seseorang.
Nah, kalau menurut Kawan Puan sendiri, warna apa yang paling bisa membuatmu bahagia? (*)
Baca Juga: Bisa Menunjukkan Kepribadian, Ini Warna Busana Terbaik untuk Interview Kerja