Parapuan.co - Ibu manapun pasti sangat terkejut jika buah hati mereka didiagnosis mengidap autisme.
Seperti halnya Anisa Dian Paramadatri, yang mana anak keduanya didiagnosis autis.
"Saat baru didiagnosis autisme oleh tim dokter, saya syok berat," kata Anisa kepada PARAPUAN, Jumat (1/4/2022).
Seorang ibu dengan anak autis yang juga merupakan Program Coordinator Yayasan MPATI ini melanjutkan, "Pertanyaan pertama yang keluar adalah "Kok bisa ya, dok?" Saya tidak menyangka dan menangis."
Penting untuk diketahui bahwa autisme atau autism spectrum disorder (ASD) adalah kelainan perkembangan saraf yang menyebabkan gangguan perilaku dan interaksi sosial.
Gejala umum yang kerap dihadapi oleh anak dengan autis adalah sulit berkomunikasi, berinteraksi sosial, minat yang obsesif hingga berperilaku repetitif.
Awalnya, tumbuh kembang anak Anisa berjalan dengan baik sesuai milestone mulai usia 0 hingga 1,5 tahun.
Namun, saat tepat usia 1,5 tahun, Anisa merasa ada kemunduran perkembangan bagi anak laki-lakinya itu.
"Anak saya menjadi tiba-tiba diam, sangat fokus sama diri sendiri, dipanggil tidak merespon, dan tidak ceria lagi saat diajak bercanda," jelas Anisa.
Baca Juga: Hari Kesadaran Autisme Sedunia, Kenali Tanda dan Penyebab Autisme pada Anak
Berangkat dari situ, Anisa ke sana ke mari untuk mencari konsultasi dan terapi dengan psikolog hingga dokter saraf.
Anisa dan suami pun harus menyesuaikan antara pekerjaan, mengurus anak, dan tantangan baru yang dihadapi.
"Tantangan justru ada pada diri saya sendiri. Label 'autisme' pada anak saya sudah jadi tantangan tersendiri," kata Anisa.
"Stres dan lelah itu pasti karena ada banyak perawatan khusus. Tapi, saya dan suami saling menguatkan bahwa anak kami bisa," lanjutnya.
Memang, membesarkan anak dengan autisme bisa menguras energi dan emosi sehingga para orang tua lebih rentan stres.
Kendati demikian, berdasarkan pengalaman Anisa, ia punya cara sendiri dalam mengelola stres sebagai orang tua dengan anak autis.
Sambil memperingati Hari Keasadaran Autisme Sedunia, ini dia pengalaman Anisa dalam mengelola stres yang bisa jadi inspirasi bagi Kawan Puan yang menghadapi hal serupa:
1. Proses menerima
Anisa tak menampik jika proses menerima kondisi autisme pada anak sangatlah sulit, ada pergolakan batin dan penolakan pada awalnya.
Baca Juga: Jelang Hari Kesadaran Autisme Sedunia, Ini Peran Pasangan Dukung Ibu dengan Anak Autisme
"Proses saya dan suami saya sangat panjang. Ada denial (penolakan), sedih, dan memikirkan pertanyaan "Kenapa harus anak kita?"," ujar Anisa.
Setelah diagnosa, Anisa yang masih bekerja pun bercerita ke atasannya untuk cuti satu minggu demi menenangkan diri.
"Kami sudah menerima tapi sampai sekarang masih belajar, karena ada hari-hari di mana kami sedih, berat. Untungnya suami sangat suportif," imbuhnya.
2. Dukungan yang kuat
Dukungan suami sangat penting bagi Anisa, yang mengajaknya fokus untuk masa depan anak dan mengabaikan omongan orang.
"Suami menguatkan saya untuk tidak lama-lama bersedih, tidak berpikir yang aneh-aneh, dan mengajak untuk mempersatukan visi misi demi anak kami," tutur Anisa.
Selain dari suami, Anisa sangat bersyukur memiliki support system yang kuat dari keluarga inti, orang tua, dan kerabat.
"Bagi saya, dukungan nomor satu adalah pengertian. Tolong diterima dengan baik dan tulus untuk hal-hal yang kami usahakan untuk anak kami," lanjutnya.
Baca Juga: Hari Kesadaran Autisme Sedunia, Hindari Mengucapkan 5 Kalimat Ini pada Orang Tua dengan Anak Autis
3. Waktu sendirian
Waktu sendirian atau me time setidaknya 20 menit sampai 1 jam sangat penting untuk menjaga kesehatan mental, menurut Anisa.
"Kalau stres, saya akan ambil waktu sendiri. Saya melakukan ha-hal yang saya suka untuk mengembalikan mood," kata Anisa.
Saat sendirian, Anisa menyempatkan untuk menonton drama, olahraga, mengaji, salat, atau hal lainnya.
"Kita butuh waktu sendiri. Saat saya stres dan mengasuh anak, mungkin emosi saya justru tumpah ke dia," lanjutnya.
Lantas, Anisa menitipkan sang buah hati ke pengasuh atau saat melangsungkan terapi dengan gurunya.
Nah, itulah ketiga cara Anisa mengelola stres sebagai orang tua dengan anak autisme.
Semoga tips dari Anisa bisa turut membantu Kawan Puan yang menghadapi hal serupa agar tetap semangat membesarkan anak yang istimewa. (*)
Baca Juga: Sering Dikira Sama, Kenali Ini Perbedaan Down Syndrome dan Autisme