"Perkawinan anak bukan hal yang bisa kita anggap remeh karena berdasarkan informasi yang kami terima dari Badilag, pada umumnya usia perkawinannya hanya bertahan 1-2 tahun," kata Erni.
Erni mengatakan perkawinan anak menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti risiko kematian ibu karena melahirkan di usia muda, stunting, meningkatnya angka kemiskinan, dan masih banyak lagi.
Namun demikian, Erni menyebutkan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 lalu menjadi sebuah langkah progresif dalam mencegah meningkatnya angka perkawinan anak di Indonesia.
"Dalam Pasal 10 telah diatur ketentuan perihal jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan yang dapat diancam pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 200 juta," kata Erni.
"Dalam Pasal 11 dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan denda, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak," jelas Erni lebih lanjut.
Selain itu, KemenPPPA juga telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak, salah satunya penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dispensasi Kawin.
Sebelumnya, KemenPPPA bersama Majelis Ulama Indonesia telah melakukan Deklarasi Pendewasaan Usia Kawin dengan 8 Menteri dan komitmen 6 lintas agama sebagai upaya pencegahan perkawinan anak.
Penurunan perkawinan anak merupakan upaya lintas sektor, baik dari pemerintah, lembaga masyarakat, dunia usaha, media, perguruan tinggi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
"Perkawinan anak merupakan kejahatan kepada anak karena telah melanggar dan mencederai hak-hak mereka," kata Erni.
"Mari kita saling bersatu padu, terus gencarkan cegah perkawinan anak, mulai dari keluarga teman, masyarakat di tempat kerja, demi kepentingan terbaik anak,” tutupnya.
Baca Juga: Momen Bersejarah, RUU TPKS Resmi Disahkan Jadi Undang-Undang oleh DPR
(*)