Parapuan.co - Kawan Puan, perkawinan anak saat ini masih menjadi isu nasional yang perlu mendapatkan perhatian, terlebih di saat pandemi Covid-19 ini.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Agustina Erni mengungkapkan hasil data pencatatan perkawinan anak.
Berdasarkan keterangan Erni, pada masa pandemi Covid-19 terjadi peningkatan pengajuan dispensasi kawin di beberapa daerah di Indonesia.
Beberapa alasan maraknya perkawinan anak, yakni menghindari zina, akibat belum meratanya pemahaman kesehatan reproduksi yang komprehensif, dan faktor ekonomi.
Melansir dari rilis yang PARAPUAN teruma, berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) pada 2019 terdapat 25.280 kasus pengajuan dispensasi kawin.
Pada 2020 angka ini melonjak hingga 65.301 kasus dan pada 2021 masih tinggi dengan jumlah 63.350 kasus. Artinya terdapat peningkatan sekitar 300 persen.
Berdasarkan data tersebut, dispensasi kawin tertinggi berada di daerah Jawa, yaitu di Pengadilan Agama Kota Surabaya, Pengadilan Agama Kota Semarang, dan Pengadilan Agama Kota Bandung.
Menurut Erni, hal ini juga didorong oleh adanya peningkatan batas usia kawin 16 tahun menjadi 19 tahun.
Hal itu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Baca Juga: Wajib Diketahui, Ini 10 Poin Penting UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
"Perkawinan anak bukan hal yang bisa kita anggap remeh karena berdasarkan informasi yang kami terima dari Badilag, pada umumnya usia perkawinannya hanya bertahan 1-2 tahun," kata Erni.
Erni mengatakan perkawinan anak menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti risiko kematian ibu karena melahirkan di usia muda, stunting, meningkatnya angka kemiskinan, dan masih banyak lagi.
Namun demikian, Erni menyebutkan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 lalu menjadi sebuah langkah progresif dalam mencegah meningkatnya angka perkawinan anak di Indonesia.
"Dalam Pasal 10 telah diatur ketentuan perihal jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan yang dapat diancam pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 200 juta," kata Erni.
"Dalam Pasal 11 dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan denda, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak," jelas Erni lebih lanjut.
Selain itu, KemenPPPA juga telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak, salah satunya penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dispensasi Kawin.
Sebelumnya, KemenPPPA bersama Majelis Ulama Indonesia telah melakukan Deklarasi Pendewasaan Usia Kawin dengan 8 Menteri dan komitmen 6 lintas agama sebagai upaya pencegahan perkawinan anak.
Penurunan perkawinan anak merupakan upaya lintas sektor, baik dari pemerintah, lembaga masyarakat, dunia usaha, media, perguruan tinggi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
"Perkawinan anak merupakan kejahatan kepada anak karena telah melanggar dan mencederai hak-hak mereka," kata Erni.
"Mari kita saling bersatu padu, terus gencarkan cegah perkawinan anak, mulai dari keluarga teman, masyarakat di tempat kerja, demi kepentingan terbaik anak,” tutupnya.
Baca Juga: Momen Bersejarah, RUU TPKS Resmi Disahkan Jadi Undang-Undang oleh DPR
(*)