Sejak menjadi jurnalis, rupanya Meutya mengaku menyukai liputan yang betul-betul butuh perjuangan keras seperti demonstrasi, perang, dan daerah konflik.
Ketertarikannya itu pun dijawab dengan tantangan penugasan ke sejumlah negara yang dilanda peperangan. Salah satunya di Irak, pada 18 Februari 2005.
Akan tetapi, nahasnya, saat meliput perang, Meutya dan rekannya Budiyanto justru diculik dan disandera kelompok bersenjata di negara itu.
Pemerintah Indonesia saat itu pun heboh, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai harus turun tangan untuk membantu membebaskan.
Kisah penculikan ini ada dalam buku 168 Jam dalam Sandera: Memoar Seorang Jurnalis yang Disandera di Irak yang terbit pada 2007.
Hebatnya, perempuan yang meraih Penghargaan Jurnalistik Elizabeth O'Neill (2007) itu tidak trauma menjadi seorang jurnalis.
"Di saat-saat seperti itulah kita bisa melihat sifat asli seseorang. Kalau manusia itu sedang di posisi terbawahnya, pasti kita bisa melihatnya," ungkap Meutya.
Perempuan yang diajak Yusuf Kalla untuk jadi anggota DPR ini mengaku jika sudut pandang perempuan dalam menjaga keamanan itu dibutuhkan.
Baca Juga: Kiprah Nurul Arifin, Aktris yang Kini Fokus Berkarier di Dunia Politik
“Karena saat perang yang sering jadi korban itu perempuan dan anak. Jadi, sekarang, yang dipikirkan adalah keselamatan perempuan dan anak," ujar anggota Partai Golkar ini.
Maka itu, dengan posisinya saat ini, ketika menjalankan tugas, Meutya tak segan-segan memperlihatkan bahwa dirinya mampu dan kuat dalam mengarahkan keputusan.
"Harus tegas, biar enggak diremehkan. Memang seperti itu yang saya hadapi," pungas seorang Meutya Hafid serius. (*)