“Sampai tahun 2014 akhirnya aku berhenti (menari) dan fokus mengajar karena cedera saat menari. Jadi aku enggak bisa bekerja kayak dulu lagi, karena memang badanku memang enggak mampu. Itu buat aku menyedihkan sekali,” ujarnya.
Cedera yang dialaminya tidak menghentikan Sita untuk terus terlibat di dunia seni tari. Saat ini, selain masih mengajar kelas online untuk anak-anak, ia fokus pada manajemen pertunjukkan.
“Kalau sekarang aku lebih ke manajemen seni pertunjukan, misalnya ada salah satu restoran di Jakarta, itu aku yang mengatur pertunjukan mereka, kostum mereka, latihan mereka, dan lain-lain,” katanya lagi.
“Kalau mengajar aku hanya yang tarian K-pop untuk anak-anak melalui Zoom. Lalu sekarang karena sekolah sudah mulai buka lagi, aku kembali pegang lagi, tapi itu pun aku lebih ke manajemen, jadi atas nama company aku,” lanjutnya.
Bagi perempuan yang sedang menempuh pendidikan S2 Administrasi Bisnis di IPMI International Business School itu, menari merupakan sumber kebahagiannya.
“Buat aku, menari itu stress reliever. Lalu, aku enggak suka keterikatan, jadi ketika setiap bulan mendapatkan pekerjaan yang berbeda-beda itu bahagia banget rasanya,” tutur Sita.
Kerap alami stigma
Kendati memiliki kesempatan untuk melakukan apa yang disukainya, Sita Tyasutami mengaku kerap mengalami stigma.
“Sering banget dari dulu, salah satunya persepsi penari yang sering dianggap sebagai perempuan 'gampangan'. Padahal menari itu, kan, merupakan salah satu budaya kita sejak lama,” katanya ketika ditanya mengenai stigma.
Baca Juga: Cerita Florencia Eka Hadapi Titik Terendah dalam Perjalanan Karier hingga Temukan Titik Baliknya
Pekerjaannya sebagai penari juga tak jarang tidak dianggap sebagai profesi oleh banyak orang di sekitarnya.
“Belum lagi dulu banyak yang enggak percaya profesi aku sebagai penari. Mereka bilang menari itu hobi, bukan profesi,” jelasnya.
Sita juga bercerita, ia pernah hampir dilecehkan ketika mendapatkan pekerjaan untuk mengajar sebuah perusahaan, yang mana kejadian tersebut membuatnya marah besar.
“Aku pernah marah banget sampai banting pintu, karena aku sudah pakai baju sport yang enggak menunjukkan apa pun, terus ada yang sampai ingin menyentuh tubuh aku, padahal aku ngajar di situ,” ungkap Sita.
Sita kemudian melanjutkan, “Kadang memang kebutuhan kostum tari itu, kan, bajunya agak terbuka, tapi sebenarnya kalau kita enggak ada niat apa-apa, harusnya enggak macam-macam. Tapi ada saja, biasanya kalau sudah kayak gitu aku marah banget.”
Di samping berbagai persepsi negatif yang kerap dikaitkan pada pekerjaannya, Sita mengaku tetap mencintai profesinya sebagai penari.
“Tapi suka banget (menari) karena bisa mengatur jam sendiri, bisa aktif juga, secara finansial saat itu waktu aku full time menari oke,” imbuhnya.
Saat ini, selain lebih fokus ke manajemen seni pertunjukkan melalui perusahaan yang dibangunnya, yakni PT Ardhanari Dharma Budaya, Sita juga masih sering hosting tari Latin yang memang menjadi fokusnya.
Baca Juga: Sempat Dilarang, Ini Perjuangan Voice of Baceprot Wujudkan Mimpi Jadi Band Metal Internasional
“Hosting tari Latin itu menyenangkan, it’s not stressful, it makes me very happy. Jadi aku nari sambil nge-host, socializing,” ujarnya lagi.
Kawan Puan, itu dia cerita perjalanan Sita Tyasutami sebagai salah satu penari perempuan di Indonesia. (*)