Adapun software as a service (SaaS) sebagai aplikasi yang membantu institusi untuk mengelola bisnis mereka secara digital, yakni dalam hal administrasi, presensi, bahkan sampai tata kelola perpustakaan.
Di samping banyaknya kemudahan dan layanan menarik yang ditawarkan oleh para platform education technology, namun masih ada tantangan dalam penerapannya.
Berdasarkan laporan World Bank (2020) berjudul EdTech di Indonesia: Ready for Take-Off?, hanya kurang dari lima persen pengguna edtech yang bersedia untuk membayar setelah masa uji coba gratis pada platform tersebut.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang belum bersedia untuk membayar harga sesuai standar dengan cara berlangganan.
Padahal, menurut Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) pada tahun 2018, Indonesia menduduki urutan ke-72 dari 77 negara dalam kemampuan matematika, sains, dan membaca pada pelajar berusia 15 tahun.
Dari data tersebut, artinya Indonesia masih harus membenahi sistem pendidikannya, salah satunya adalah lewat perkembangan bisnis education technology.
Apalagi, Indonesia memiliki pasar yang sangat luas dan besar, dengan lebih dari 50 juta siswa dari tingkat taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).
World Bank juga menyatakan sistem pendidikan di Indonesia merupakan yang terbesar keempat di dunia, yaitu setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Terlepas dari hambatan yang masih dihadapi oleh industri edtech Indonesia, nyatanya terdapat peluang besar bagi edtech dalam beberapa tahun terakhir, khususnya karena pandemi Covid-19.
Baca Juga: 9 Tips Memulai Bisnis di Bidang Education Technology (Part I)