Pada awalnya, Mulya yang baru pindah ke Yogyakarta berkenalan dengan seorang buruh gendong perempuan di sebuah pasar tradisional.
Buruh gendong perempuan merupakan sekelompok perempuan, ibu-ibu hingga lansia, yang menjual jasa untuk mengangkut barang di pasar tradisional tanpa standar tarif, sehingga penghasilan hariannya tidak menentu.
Melihat keadaan sulit para buruh gendong perempuan di Yogyakarta akibat pandemi, ia pun berinisiatif membuat gerakan sosial bernama Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan.
“Karena kebetulan di Yogya aku buka rumah makan, jadi ada peralatan dan ada tempat, tinggal cari relawan yang bisa masak, nah kami memang menentukan mau memberi ke orang yang sama, ke ibu-ibu karena sisters. Lagi-lagi ini solidaritas sisters,” cerita Mulya kepada PARAPUAN.
Alih-alih membantu secara acak, menurut Mulya, membantu kelompok tertentu secara berulang dapat memberikan dampak yang lebih besar, khususnya secara psikologis.
“Jadi kalau orang yang sama dapat bantuan terus, secara psikologis dia terbantu. Berapapun penghasilan mereka saat ini, tapi mereka sudah tahu pasti jam 11.30 siang, makan siang gratis pasti ada,” terangnya.
“Itu saja sudah membantu membuat orang tenang, bisa memprediksi bahwa mereka bisa menghemat pengeluarannya yang tidak pasti,” sambung Mulya.
Selama satu tahun lima bulan membantu para buruh gendong melalui Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan, Sisters in Danger telah memberikan sebanyak 67 ribu porsi makanan.
Dana untuk membuat makanan sendiri didapat dari penggalangan dana yang dilakukan oleh Sisters in Danger dan para relawan melalui berbagai platform.
Baca Juga: Sempat Dilarang, Ini Perjuangan Voice of Baceprot Wujudkan Mimpi Jadi Band Metal Internasional