Parapuan.co - Kawan Puan, di tengah banyaknya lapangan pekerjaan, ternyata akses penyandang disabilitas terhadap pekerjaan masih jauh dari kata mudah.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di tahun 2021 lalu mengungkapkan, setidaknya ada 17,74 juta penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang merupakan penyandang disabilitas.
Namun dari jumlah tersebut, baru 7,8 juta orang saja yang masuk ke angkatan kerja.
Minimnya akses pekerjaan bagi penyandang disabilitas ini terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan.
Data BPS di tahun yang sama juga menemukan bahwa berdasarkan wilayahnya, persentase pekerja disabilitas di perkotaan turun dari 0,24 persen menjadi 0,15 persen.
Di pedesaan, persentase pekerja disabilitas turun dari 0,34 persen menjadi 0,20 persen.
Presentase bukan hanya bagi kaum difabel yang memiliki keterbatasan pendidikan, lulusan dari SLB pun kerap masih kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Hal itu diungkapkan Siti Marlina, wanita berumur 34 tahun yang berasal dari Kota Bontang, Kalimantan Timur, pendiri Inkubator Bisnis (Inbis) Permata Bunda.
Siti Marlina hidup dekat dengan kelompok penyandang disabilitas sejak kecil, karena kedua orang tuanya adalah pengajar SLB.
Baca Juga: Kuota Kartu Prakerja Gelombang 33, Jangkau Disabilitas hingga Pengangguran
Ini membuatnya memiliki kesadaran tinggi bahwa penyandang disabilitas pada hakikatnya mampu berdaya dan berkarya setara dengan orang pada umumnya.
Berbekal pengalaman di bidang pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Siti dan suami menginisiasi program Inbis Permata Bunda yang berlokasi di Kota Bontang, Kalimantan Timur.
Dalam prosesnya, mereka juga mengajak Sekolah Luar Biasa (SLB) di kota Bontang untuk turut berpartisipasi.
"Akses terhadap pekerjaan yang mampu dilakukan secara profesional oleh mereka pun masih terbatas," ungkap Siti Marlina dalam press rilis yang diterima PARAPUAN.
Ia menambahkan, penyebabnya tidak melulu karena mereka tidak mampu, tetapi lebih kepada kesempatan yang ada masih minim terhadap mereka.
Ironisnya lagi, hal ini kerap terjadi di kota-kota besar Indonesia, terlebih lagi di kota kecil di Kalimantan seperti Bontang ini.
Inbis Permata Bunda bukan hanya sebagai wadah pengaplikasian keterampilan para siswa SLB dan alumni SLB kota Bontang.
Akan tetapi, juga menjadi tempat mencari nafkah bagi mereka yang telah berhasil dilatih, menjadi pemagang dan karyawan dalam beberapa lini usaha yang dijalankan bersama.
Saat ini, Inbis Permata Bunda memiliki tiga lini usaha, diantaranya adalah sablon, kuliner, dan sayuran.
Baca Juga: Kisah Ratnawati Sutedjo Berdayakan Penyandang Disabilitas Lewat Precious One, Berawal dari Nazar
"Pada awal pandemi usaha sablon kami sempat terganggu, para penyandang disabilitas inilah yang menguatkan kami untuk terus berinovasi," kata Siti menambahkan.
Karyawan pertama Inbis Permata Bunda adalah Rizky Erfanda, laki-laki berusia 26 tahun yang merupakan penyandang tuli dan merupakan tulang punggung keluarga.
Rizky fokus mengurus bisnis sablon dalam naungan Inbis Permata Bunda yang berhasil membawanya mengantongi uang hingga Rp5-6 juta rupiah perbulannya.
Beragam keterampilan Rizky kuasai, diantaranya adalah menyablon baju, memasang wallpaper, hingga membuat kue kering.
Inbis Permata Bunda merupakan salah satu Sustainable Entrepreneurship Program for Disability dari PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) yang telah dibina sejak 2016 hingga tahun 2021.
Saat ini Inbis Permata Bunda memasuki fase exit strategy karena dinilai mampu untuk mandiri.
Isu pekerjaan bagi penyandang disabilitas memang menjadi perhatian, baik oleh pemerintah dan perusahaan anak BUMN seperti PKT, yang memang memiliki peran sebagai agen pembangunan.
"Kami melihat para penyandang disabilitas memiliki potensi untuk berdaya dan bekerja secara profesional," tutur Sekretaris Korporasi PKT, Teguh Ismartono.
Namun, menurutnya hal itu perlu didukung oleh lingkungan yang produktif dan menitikberatkan pada kohesivitas atau persaudaraan yang baik antara masyarakat dan para penyandang disabilitas.
Baca Juga: 6 Alasan Perusahaan Harus Pekerjakan Difabel, Ini Keuntungannya!
(*)