Parapuan.co - Wacana tentang cuti melahirkan selama 6 bulan bagi ibu bekerja belakangan kembali digaungkan.
Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Puan Maharani bahkan sangat mendukung hal tersebut yang tertuang dalam RUU KIA (Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak).
Tak hanya ibu yang jumlah cutinya bertambah dari 3 menjadi 6 bulan, ayah juga akan mendapatkan cuti selama 40 hari untuk mendampingi istrinya setelah melahirkan.
Kebijakan cuti melahirkan bagi ibu dan ayah rupanya disambut baik oleh perempuan yang berkarier, termasuk para ayah.
Hanya saja, tampaknya kebijakan ini dianggap sebagian pihak perlu dikaji ulang oleh pemerintah, sebagaimana keterangan dari Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta.
Ketua DPD HIPPI DKI Jakarta, Sarman Simanjorang menjelaskan, kebijakan cuti melahirkan selama 6 bulan dapat berdampak bagi perusahaan maupun pelaku UMKM.
Menurut Sarman, pengkajian perlu dilakukan lantaran cuti ini dianggap akan ikut mempengaruhi produktivitas perusahaan dan UMKM.
Berikut beberapa dampak cuti melahirkan enam bulan yang ditakutkan oleh Sarman Simanjorang dalam pernyataan tertulis sebagaimana dikutip dari Kompas.com!
1. Berpeluang mendorong pengusaha menggunakan sistem kontrak bagi pekerja
Baca Juga: Puan Maharani Dukung RUU KIA Dibahas Lebih Lanjut, Termasuk Cuti Hamil 6 Bulan
Pertama, jika aturan cuti ini diberlakukan maka dapat berpeluang mendorong pengusaha untuk menyiasati pekerjanya menjadi pekerja kontrak.
Pasalnya, pengusaha harus mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mendapatkan cuti hamil tersebut.
2. Berpotensi menurunkan prodktivitas tenaga kerja
Kedua, kebijakan cuti ini dinilai berpotensi menurunkan peringkat produktivitas tenaga kerja di Indonesia yang saat ini sudah jauh tertinggal.
Data dari Asian Productivity Organization (APO) 2020 menunjukkan, posisi produktivitas per pekerja Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia.
Bahkan, posisi Indonesia berada di bawah rata-rata tingkat produktivitas tenaga kerja di 6 negara Asean dan peringkat dunia, yaitu Indonesia berada di urutan 107 dari 185 negara.
3. Pelaku UMKM kesulitan membayar upah
Ketiga, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak aturan ini jika diterapkan kepada pelaku usaha UMKM, yang berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM berjumlah 64,2 juta di 2018.
Pasalnya, berdasarkan data Kementerian KUKM 2019, tenaga kerja UKM setara dengan 96,92 persen dari total tenaga kerja di Indonesia, yaitu sebanyak 119,6 juta orang.
Baca Juga: 8 Tips Persiapan Wanita Karir Kembali Bekerja setelah Cuti Melahirkan
Sarman khawatir, pelaku UMKM kesulitan membayarkan upah kepada pekerjanya yang tengah cuti melahirkan.
"Pelaku UMKM memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang," terang Sarman Simanjorang.
"Bisa dibayangkan jika pekerja wanitanya cuti selama 6 bulan dan harus mengeluarkan gaji selama cuti, apakah dari sisi finansial UMKM tersebut memiliki kemampuan?" jelasnya.
Kendati demikian, Sarman Simanjorang sendiri memahami alasan pemberlakuan aturan cuti melahirkan jika ditinjau dari sisi kesehatan.
Namun, ia kembali menegaskan bahwa pemerintah perlu melakukan pengkajian kembali sebelum benar-benar mengesahkan RUU KIA.
Menurutnya, aturan terkait cuti melahirkan enam bulan ini bisa diterapkan di instansi pemerintah, yaitu terhadap ASN (Aparatur Sipil Negara).
Untuk perusahaan dan UMKM, ia berharap akan ada kebijakan yang tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang membingungkan pengusaha.
Bagaimana menurut Kawan Puan?
Baca Juga: 4 Tips Wanita Karir Kembali Bekerja Setelah Cuti Melahirkan, Salah Satunya Atur Skala Prioritas
(*)