Menurut Komnas Perempuan, pemerintah masih belum memberikan fasilitas kesehatan penyedia layanan aborsi yang aman khusus untuk korban perkosaan.
"Kekurangan hukum dalam menghadapi kasus aborsi adalah belum disertai penunjukan tempat layanan kesehatan oleh negara/Kemenkes," jelas Retty.
Kurangnya pengetahuan reproduksi yang membuat korban baru tahu dirinya hamil juga menjadi faktor lain akhirnya hukum aborsi tidak berjalan dengan baik.
"Juga hambatan psikologis dan kultural yang menyebabkan korban tidak langsung menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya,"
"Minimnya pengetahuan kesehatan reproduksi perempuan yang baru mengetahui kehamilannya setelah kehamilan besar dan tidak segera diberikannya pil kopdar maksimal seminggu paska terjadinya kekerasan seksual," imbuhnya.
Hal itu membuat aborsi legal sulit dilakukan, apalagi dalam peraturan aborsi hanya diperbolehkan jika kandungan masih berusia 6 minggu kehamilan.
"Jangka waktu hanya 6 minggu kehamilan. Hal ini tidak cukup karena perkosaan baru dilaporkan lebih dari 6 minggu," terang Retty.
Hal itu tentu menjadi polemik baru karena akhirnya banyak korban memilih untuk menggugurkan kandungannya ke tempat-tempat aborsi yang jelas ilegal dan tidak aman.
Kedua, masalah yang Komnas Perempuan soroti adalah tidak adanya kejelasan lembaga yang memfasilitasi aborsi.
Baca Juga: Ramai Kasus NWR Diusut Dugaan Pemerkosaan, Ini Penjelasan UU Perkosaan
"Tidak jelas siapa lembaga yang akan melaksanakan aborsi aman, tidak jelas siapa yang membiayai," imbuhnya.
Atas alasan-alasan itulah Komnas Perempuan menyebut pelaksanaan hukum aborsi di Indonesia belum menyejahterakan perempuan.
Pelaksanaan aborsi aman yang ideal nyatanya masih sulit dilakukan karena di lapangan proses ini melibatkan banyak stake holder.
(*)