Parapuan.co - Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menilai Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) akan berdampak pada peran perempuan di dunia kerja.
Khususnya terkait persoalan cuti selama enam bulan yang bisa membuat banyak perusahaan enggan untuk merekrut karyawan perempuan.
Selain itu, persoalan ini tak hanya bisa memengaruhi biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, namun juga bisa menurunkan daya saing perempuan pekerja.
Direktur Eksekutif IBCWE, Maya Juwita, menilai bahwa RUU KIA berpotensi mengembalikan perempuan ke ranah domestik.
“Perempuan di dunia kerja sudah banyak memiliki tantangan, salah satunya norma yang menyatakan bahwa kodrat perempuan itu adalah mengurus keluarga. Dengan adanya RUU KIA ini, akan semakin mengarah pada domestikasi perempuan,” tegasnya dalam siaran pers yang diterima PARAPUAN.
Di tengah gencaran kampanye mengenai pembagian tugas domestik yang setara antara perempuan dan laki-laki, RUU KIA perlu dikaji lebih dalam lagi.
Meskipun perpanjangan cuti melahirkan dan cuti ayah/pendampingan ini patut diapresiasi karena merupakan bentuk atensi negara terhadap hak maternitas warga negaranya, namun tetap dibutuhkan kajian yang komprehensif.
IBCWE memandang kajian tersebut perlu dikaitkan dengan produktivitas pekerja perempuan dan dampaknya terhadap keuangan perusahaan.
Diperlukan juga diskusi dengan pelaku usaha, termasuk Usaha Mikro & Kecil (UMK) mengenai bisnis mengenai mekanisme implementasi dan implikasinya.
Baca Juga: Masih Terima Gaji, Ini Dilema Ibu Bekerja Soal Aturan Cuti 6 Bulan di RUU KIA
Sejumlah hal yang penting untuk didiskusikan di antaranya terkait pembayaran upah, keberlangsungan bisnis perusahaan yang harus mengisi kekosongan, sampai persiapan kembali ibu bekerja setelah selesai cuti.
Pilihan lainnya yang patut untuk dipertimbangkan dan dinilai dapat menguntungkan semua pihak, baik pekerja perempuan dan pengusaha, misalnya sistem kerja fleksibel setelah cuti tiga bulan.
Inclusion and Diversity Manager, PT HM Sampoerna, Tbk., Melissa Sim, menuturkan dari sisi dunia usaha bahwa karyawan justru lebih mengapresiasi dukungan yang lebih holistik.
“Kami sudah menerapkan cuti melahirkan selama enam bulan dan karyawan mengapresiasi inisiatif ini. Tetapi yang lebih diapresiasi lagi adalah pemberian support yang lebih holistik, seperti sistem kerja yang fleksibel, (serta) dukungan dari rekan kerja,” ungkap Melissa.
Terkait cuti ayah/pendampingan, IBCWE memandang dibutuhkan edukasi terkait peran dan tugas selama masa cuti, dengan demikian cuti tersebut lebih tepat sasaran.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, dibutuhkan pula kejelasan bahwa cuti pendampingan suami ini juga berbayar utuh, sehingga suami tidak khawatir penghasilan keluarga berkurang ketika mengambil cuti.
Di sisi lain, Dept Head of Human Resources Management, PT Pan Brothers, Tbk., Denny Samboh, meminta DPR untuk mengkaji ulang RUU KIA secara menyeluruh.
Ia menilai, alih-alih memaksakan pengesahan RUU KIA, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebaiknya meningkatkan pengawasan RUU lainnya yang sudah berjalan dengan baik.
Baca Juga: Ini Alasan Pengusaha Sarankan Kebijakan Cuti Melahirkan 6 Bulan Perlu Dikaji
“Kalaupun RUU ini mau diresmikan sebagai undang-undang kajilah semua secara holistik dan bicara dengan data, mau bicara tentang stunting bicara dengan data. Kalau datanya tidak bicara seperti itu, jangan dipaksakan. Masih ada RUU lain yang sudah berjalan dengan baik, mari kita tingkatkan pengawasan,” ungkapnya.
Seperti diketahui, sebelumnya DPR resmi mengesahkan RUU KIA sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna yang digelar pada 30 Juni 2022 lalu.
Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut RUU KIA akan menjadi pedoman bagi negara untuk memastikan anak-anak generasi penerus bangsa memiliki tumbuh kembang yang baik agar menjadi sumber daya manusia (SDM) yang unggul.
Salah satu yang menjadi sorotan RUU KIA ialah terkait cuti melahirkan enam bulan bagi ibu pekerja dan cuti ayah maksimal 40 hari untuk mendampingi istrinya.
Dibahas pula aturan mengenai penyediaan fasilitas tempat penitipan anak atau daycare di fasilitas umum dan tempat kerja.
“Lewat RUU ini, kita ingin memastikan setiap hak ibu dan anak dapat terpenuhi. Termasuk hak pelayanan kesehatan, hak mendapatkan fasilitas khusus dan sarana prasarana di fasilitas umum, hingga kepastian bagi ibu tetap dipekerjakan usai melahirkan,” ujar Puan Maharani beberapa waktu lalu. (*)