“Iya ini menjadi sangat penting buat komunitas, jika kekerasan tersebut masih tetap terjadi dan tidak ada penanganan yang sesuai, maka kecemasan kami adalah ini akan berdampak buruk terhadap penyintas dan tentu menghambat rencana pemerintah dalam mengakselerasi penanganan HIV di Indonesia," kata Timotius Hadi selaku Deputi Program JIP di acara Media Brief, Selasa (23/8/2022).
Sejak 2 tahun terakhir JIP terus bersinergi dengan layanan kesehatan, dalam hal ini Rumah Sakit dan Puskesmas.
JIP mendorong terbentuknya layanan kesehatan yang nyaman dan mudah diakses oleh komunitas orang yang hidup dengan HIV serta komunitas yang rentan terinfeksi HIV.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk komitmen JIP mendukung pemerintah untuk mencapai target Ending AIDS pada tahun 2030.
“Bagaimana bisa kita mencapai target tersebut jika terjadi kekerasan dalam bentuk stigma dan diskriminasi yang dialami orang dengan HIV dan orang yang rentang terinfeksi HIV. Apalagi jika kekerasan tersebut menyebabkan keengganan mereka untuk melakukan tes maupun pengobatan," tambah Hadi.
Sejalan dengan pernyataan Hadi, fakta lain yang didapatkan dari serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh JIP bahwa mereka yang mengalami kekerasan enggan datang ke layanan kesehatan serta masih banyak petugas kesehatan di Puskesmas yang perlu mendapatkan peningkatan kapasitas konseling dan pemahaman KTPA (Kekerasan terhadap Perempuan & Anak), beberapa korban kekerasan seksual langsung mendapatkan rujukan untuk melakukan tes HIV.
Di sisi lain, selama pandemi Covid-19, terjadi penurunan koordinasi lintas sektor baik yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan maupun oleh P2TP2A sebagai unit pelaksana teknis dalam penanganan KTPA di tingkat kabupaten/kota.
Belum ada alokasi anggaran yang jelas dari Pemerintah terkait penanganan KTPA.
Baca Juga: 3 Kondisi Gangguan Kesehatan Mental yang Rawan Dialami Pengidap HIV