Parapuan.co - Prof. dr. Ova Emilia, M.Med., Ed, Sp.OG (K), Ph. D, rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan langkah penanganan yang ditempuh oleh UGM dalam mengatasi kekerasan seksual di kampus.
Ova Emilia menyampaikan langkah UGM menangani kasus kekerasan seksual di kampus itu pada saat konferensi pers International Conference On Indonesia Family Planning and Reproductive Health 2022 (ICIFPRH 2022) di Yogyakarta pada bulan Agustus 2022.
Dalam sesi Press Conference International Conference On Indonesia Family Planning and Reproductive Health 2022 (ICIFPRH 2022), Ova Emilia menuturkan upaya UGM dalam hal menangani kasus kekerasan seksual di kampus.
Menurut Ova, UGM telah menerapkan sebuah program yang dikhususkan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di kampus.
UGM sendiri sudah mendeklarasikan dirinya sebagai kampus yang bebas dari adanya tindak kekerasan atau zero tolerance for violence.
Langkah-langkah yang ditempuh UGM untuk menghapus kekerasan seksual terjadi di lingkup pendidikan mencakup literasi, membuat konselor sebaya, membentuk tim satgas, hingga menyediakan button crisis center di website kampus.
Literasi soal apa saja yang termasuk kekerasan seksual diberikan kepada tenaga kependidikan hingga mahasiswa demi mencegah mereka menjadi korban.
"Jadi di situ ada pemberian edukasi, informasi, karena memang ini kaitannya dengan persepsi orang terhadap kekerasan itu sendiri," ucap Ova saat Press Conference, ICIFPRH 2022 di Yogyakarta, Selasa, (23/8/2022).
"Orang melihat mungkin, 'suit suit (bersiul)' itu belum kekerasan gitu kan, padahal itu kan, juga sesuatu yang sudah mancing mancing gitu ya, atau mungkin suatu komentar-komentar, "Eh baju kamu bagus lho," nah itu ini mahasiswa kadang-kadang tidak tahu apa yang iya dan yang tidak gitu, ya," terangnya lebih jauh.
Baca Juga: Profil Prof Ova Emilia, Rektor Perempuan UGM Periode 2022-2027
UGM juga membentuk konselor-konselor teman sebaya yang bisa menyuarakan dan mengedukasi mahasiswa secara lebih intens terkait kekerasan seksual di kampus.
"Kita membuat semacam konselor-konselor teman sebaya yang kita rekrut dari semua fakultas, ini dilatih untuk supaya dia bergulir untuk dapat menyuarakan dan mengedukasi tapi secara lebih intens, mungkin kalau ada temennya yang mungkin kurang tau, nah, ini dia memberikan konseling," jelas Ova.
Ova menegaskan pentingnya tim satgas khusus yang bakal membantu pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan seksual di kampus.
Tim satgas di UGM ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari psikolog, hukum, hingga dokter, dengan dibekali SOP untuk menjalankan tugasnya ketika ada kasus kekerasan seksual.
"Jadi tim satgas ini sudah mempunyai SOP untuk misalnya ada kejadian apa yang dilakukan maka perlu membuat suatu tim independen untuk mengeksplor dan seterusnya," terangnya.
Tak kalah penting, Ova menuturkan bahwa saat ini UGM telah menyediakan button crisis center di dalam website UGM untuk bisa diakses oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
"Kita membuat semacam button untuk crisis center di dalam website UGM yang dapat dijangkau oleh siapa pun kapan pun dan di mana pun. Itu upaya-upayanya," ucap Ova.
Tak dapat dimungkiri bahwa kasus kekerasan seksual di lingkup pendidikan, salah satunya kampus, masih kerap terjadi.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2022 mencatatkan bahwa kasus yang diadukan ke pihaknya salah satunya adalah di kampus.
Baca Juga: Ini Kata Nadiem Makarim tentang Pentingnya Melawan Kekerasan Seksual di Kampus
Laporan aduan yang masuk ke Komnas Perempuan selama periode tahun 2020 hingga 2021 menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih terjadi di lingkungan kampus.
Di tahun 2020, ada 8 laporan aduan masuk ke Komnas Perempuan perihal kasus kekerasan seksual di kampus.
Lalu di tahun 2021, meskipun angkanya menurun namun kekerasan seksual masih juga terjadi di kampus.
Di tahun 2021 tersebut, ada 6 laporan aduan kasus yang masuk ke Komnas Perempuan di mana kejadian tersebut terjadi di lingkup pendidikan universitas.
Sementara itu, Komnas Perempuan dalam CATAHU 2022 juga mencatat jumlah kasus kekerasan yang terjadi di perguruan tinggi sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2021.
Dari total 67 kasus yang diadukan sepanjang tahun tersebut, 35% di antaranya adalah kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.
Data tersebut tentunya membuat kita semua miris sebab instansi pendidikan yang seharusnya bisa jadi ruang aman untuk tiap individu, ternyata malah menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual.
Ini tentu tak sejalan dengan 3 Zeros, tujuan yang ingin dicapai oleh Indonesia pada tahun 2030 mendatang.
3 Zeros adalah zero unmet need for family planning, zero preventable maternal deaths, dan zero gender-based violence and harmful practices.
Dalam bahasa Indonesia, 3 zeros ini termasuk nol kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk keluarga berencana, nol kematian ibu yang dapat dicegah, dan nol kekerasan berbasis gender dan praktik berbahaya.
Makanya, dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual di Indonesia, seluruh pihak bisa bekerja sama menerapkan kebijakan maupun program penanganan kasus kekerasan seksual ini.
Dengan begitu harapannya tidak akan ada lagi kekerasan seksual di Indonesia seperti tujuan yang ingin dicapai dalam beberapa tahun mendatang.
Baca Juga: Dukung RUU TPKS, Cinta Laura Bahas Kekerasan Seksual di Kampus dan Lingkungan Kerja
(*)