“Gaun berkabung telah menjadi bagian dari budaya kerajaan Eropa selama berabad-abad lalu, tetapi puncaknya pada abad ke-19 dengan pengaruh Ratu Victoria, yang menetapkan standar untuk diikuti oleh masyarakat lainnya,” kata Matthew Storey, kurator di Historic Royal Palaces.
Saat kematian suaminya, Pangeran Albert pada tahun 1862, Ratu Victoria mengungkapkan kesedihannya dengan mengenakan pakaian hitam setiap hari.
“Ketika suami tercintanya meninggal pada tahun 1861, dia meninggalkan pakaian berwarna-warni bersama seluruh anggota istana, lalu mengadopsi pakaian hitam sebagai tanda kesedihan," ujar Storey.
Menariknya, pada zaman itu para janda memang diharuskan mengenakan pakaian hitam, putih atau ungu muda, setidaknya selama tiga tahun sebelum kembali ke pakaian berwarna-warni.
Sementara, Victoria memilih untuk tidak pernah meninggalkan duka dan mengenakan gaun hitam ikoniknya dan topi janda putih selama sisa hidupnya.
Adapun busana yang dikenakan oleh Ratu Victoria kala itu adalah gaun hitam panjang yang disebut sebagai 'gaun janda'.
Gaun tersebut dilengkapi dengan kain hitam tipis yang menutupi wajah, yang sekaligus jadi pertanda seorang istri yang baru saja kehilangan suami.
Menandakan Status Kekayaan
Selain menandakan kedukaan, busana berkabung juga menunjukkan status kekayaan dan derajat seseorang di masyarakat saat itu.
Bahkan, setelah kematian Ratu Victoria, gaun berkabung menjadi lebih mewah.
Kemudian menantu perempuannya, Ratu Alexandra melonggarkan aturan busana berkabung dengan memilih gaun setengah berduka yang memiliki detail berkilauan dari sifon sutra ungu dan manik-manik, serta kuning pucat dan abu-abu.
Pasalnya, aturan busana berkabung era Victoria dinilai ketinggalan zaman dan tidak praktis.
Kendati demikian, aturan yang baku mengenai pakaian serba hitam saat masa berkabung masih dipertahankan oleh Kerajaan Inggris hingga sekarang.
Baca Juga: 4 Fakta Menarik Kastil Balmoral, Tempat Ratu Elizabeth II Menghabiskan Hari Terakhirnya
(*)