Parapuan.co - Keterbatasan pemahaman dan stigma terkait gangguan kesehatan mental yang ada di tengah masyarakat membuat mereka yang mengalami gangguan ini kerap dihadapi oleh berbagai tantangan.
Afina Syifa merupakan salah satu penyintas gangguan bipolar dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) yang harus melewati proses panjang untuk menerima kondisinya karena stigma tersebut.
Dalam Podcast Cerita Parapuan mendatang, Afina menceritakan berbagai tantangan yang dihadapinya hingga pada akhirnya berhasil berdamai dengan diri sendiri.
Afina pertama kali didiagnosis bipolar tipe I pada tahun 2018 silam, di mana kala itu masalah kesehatan mental masih dianggap tabu.
Bipolar sendiri merupakan gangguan kesehatan mental di mana pengidapnya mengalami perubahan suasana hati yang cukup ekstrem, terdiri dari dua fase yang disebut depresi dan mania (bersemangat).
Jauh sebelum itu, pada saat usianya baru menginjak tujuh tahun, Afina Syifa pernah didiagnosis ADHD yang membuatnya harus menjalani terapi sembari menempuh pendidikan formal.
Adapun ADHD merupakan gangguan pemusatan perhatian atau hiperaktivitas, ditandai dengan perilaku impulsif dan hiperaktif yang membuat pengidapnya sering mengalami kesulitan memusatkan perhatiannya pada satu aktivitas.
“Jadi ibu dan ayah aku itu melihat aku enggak bisa diam. Karena memang begitu, gampang bosan dan enggak bisa diam. Akhirnya dibawa ke psikolog dan didiagnosis ADHD, sehingga harus terapi,” cerita Afina.
Afina kemudian bercerita bahwa akibat terapi yang harus dijalani karena ADHD yang diidapnya, ia sempat disebut “autis” oleh teman sebayanya di kelas.
Baca Juga: Afina Syifa Ceritakan Perjalanan Penerimaan Dirinya Hadapi Gangguan Kesehatan Mental
“Aku ketahuan sama teman-teman sekolah aku ke psikolog, terus aku dibilang autis. Terus aku berhenti karena malu ke psikolog,” katanya.
Di samping itu, ADHD tersebut juga sering membuatnya bersikap impulsif, termasuk saat harus mengambil keputusan penting sekalipun.
Bahkan Afina pernah menerima lamaran dari mantan kekasihnya tanpa memikirkan rintangan yang akan dihadapi kedepannya.
“Aku menerima lamaran itu iya-iya saja karena hanya mikir bahagianya. Tapi ada juga momen di tengah-tengah itu aku putus karena keimpulsifan aku, aku mikir “kayaknya putus saja deh”,” jelas Afina.
Pada akhirnya ia memutuskan untuk membatalkan lamaran tersebut karena mempertimbangkan kondisi mentalnya yang belum stabil.
Ia juga mengatakan ingin lebih fokus dan menerima diri sendiri sepenuhnya sebelum memulai hubungan baru.
Tantangan Menghadapi Stigma terkait Gangguan Kesehatan Mental
Sementara itu, terkait gangguan bipolar yang membuatnya harus mengalami fase depresi, Afina sempat dianggap mengalami gangguan spiritual oleh kedua orang tuanya.
“Ibu sama ayah aku awalnya denial, sampai aku pernah dibawa ke ruqyah karena mereka mengira bipolar aku karena jin. Padahal ketika aku di-ruqyah aku enggak apa-apa sebenarnya, tapi aku sedihnya waktu itu aku sudah sebulan enggak self-harm dan aku cuman minta untuk diapresiasi,” ceritanya.
Baca Juga: Orang Terdekat Alami Gangguan Kesehatan Mental, Ini Cara Tepat Mendukungnya Menurut Afina Syifa
Terlebih saat memasuki fase depresi, Afina tak jarang berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Karena pikiran itu jugalah ia akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri berkonsultasi ke psikolog dan psikiater.
“Dari situ, aku merasa aku memang harus ke profesional karena aku ingin enggak hanya kesehatan fisik aku saja yang sehat, tapi kesehatan mental aku juga. Akhirnya aku ke psikolog, dari situ dirujuk ke psikiater, dan didiagnosis bipolar,” ungkapnya.
Memang, pada awalnya Afina mengaku sempat merasa takut untuk berkonsultasi ke psikolog dan psikiater karena stigma buruk dari orang terdekatnya, termasuk orang tua.
Di sisi lain, ia merasa senang setelah mengetahui bahwa sedih terus-menerus yang dialaminya merupakan gangguan kesehatan mental.
“Sedihnya itu karena aku takut di-judge sama orang tua, keluarga, teman-teman, karena jarang banget orang yang ngomong mereka bipolar, jadi aku merasa enggak punya teman. Apalagi orang bipolar itu stigmanya orang gila, itu yang aku takutin,” pungkas Afina.
“Tapi senangnya, aku jadi tahu aku kenapa, aku lebih mengenal diri sendiri dan treatment yang harus dilakukan, seperti minum obat dan terapi agar aku bisa jadi lebih baik,” lanjutnya lagi.
Karena stigma tersebut, ia pun sempat mengalami kesulitan untuk mengedukasi kedua orang tuanya terkait apa yang dirasakannya.
Baca Juga: Pernah Dirawat di RSJ, Ini Perjalanan Berliku Yovania Asyifa Jami dalam Menerima Diri
Untungnya, berkat kesabarannya, kini orang tuanya sudah bisa memahami kondisi putrinya dan memberikan dukungan penuh.
Sementara itu di media sosial, Afina Syifa mengaku tak jarang disebut hanya mencari perhatian karena membagikan kisah perjuangannya ke publik.
Tetapi hal tersebut tak membuatnya lantas berhenti membagikan ceritanya serta memberikan edukasi seputar kesehatan mental.
“Aku ingat tujuan aku apa, bukan buat cari perhatian dan konten untuk dikasihani. Niat aku ingin teman-teman yang merasakan apa yang aku rasakan untuk ke profesional dan bahwa mereka enggak sendirian. Jadi kalau ada yang bilang aku caper (cari perhatian), pengin dibilang bipolar, aku enggak peduli,” tegasnya.
Kawan Puan, itulah cerita Afina Syifa melawan stigma terkait gangguan kesehatan mental.
Afina juga berpesan, bagi Kawan Puan yang merasakan gejala atau gangguan kesehatan mental untuk tidak perlu merasa takut berkonsultasi ke profesional.
“It’s okay to seek help. Apapun situasinya, apapun situasinya, marah, sedih, itu enggak apa ke profesional. Dan kalian enggak sendirian, teman-teman juga bisa mengalami proses indah yang aku alami. Don’t give up dan percaya dengan prosesnya,” tutup Afina. (*)