Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Telah lazim di zaman digital, produksi, distribusi dan konsumsi konten media digital, terjadi intensif. Ini jadi gejala yang kian merata, bukan hanya di perkotaan metropolis, namun juga di wilayah-wilayah suburban bahkan rural, pedesaan.
Google, dalam laporan yang berjudul “Year in Search: 2018 Insight for Brand”, menyebut gejala ini sebagai non metros, go online. Artinya perilaku online, tak lagi didominasi khalayak di kota-kota besar, namun terjadi merata di wilayah-wilayah lain di seluruh negara.
Manifestasi go online ini berupa aktivitas berjejaring di media digital. Mulai interaksi antar pribadi yang bersifat mikro, aktivitas ekonomi bisnis, relasi sosial, tranformasi pendidikan, penanaman pengaruh politik yang seluruhnya bersifat meso, bahkan peristiwa-peristiwa budaya yang berjangkauan makro.
Manfaat maupun perubahan baik yang tercatat, bukan lagi jadi hal baru. Berbagai pihak merasa penting mengupayakan penyempurnaan ekosistem media digital, agar dapat diakses lebih banyak khalayak.
Namun demikian, bukan berarti perkembangan baik itu bebas dari masalah.
Rentannya Kesehatan Mental Perempuan
Banyak degradasi kesehatan mental yang muncul, dan perlu memperoleh perhatian serius. Terlebih manakala pada teknologi umumnya yang hampir selalu diidentikkan dengan pengguna laki-laki, media digital mengundang perempuan sama kencangnya, agar tertarik pada teknologi ini.
Sayangnya, berbagai riset menunjukkan kerentanan degradasi kesehatan mental yang lebih tinggi pada kelompok perempuan, akibat penggunaan media sosial.
Baca Juga: Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022, WHO Paparkan Ada 6 Jenis Gangguan Mental
Salah satu hasil riset diuraikan Jason Crosby, 2022 dalam artikelnya “How Social Media Affect Women’s Mental Health: Negatives vs Positives”. Pada artikel ini diuraikan, benar media digital membawa pengaruh positif lebih besar daripada pengaruh negatifnya.