Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Lebih lanjut Addiction Center menguraikan, fenomena kecanduan media sosial dapat dikaitkan oleh terpicunya dopamin, dari sistem kimia otak manusia.
Kimia otak ini dirangsang oleh keasyikan yang bersumber dari produksi, distribusi, maupun konsumsi informasi di situs jejaring sosial.
Baca Juga: Kesepian dan Alasan Lain Mengapa Kamu Oversharing di Media Sosial
Situs ini termasuk Facebook, Snapchat, maupun Instagram. Dan tentu saja, hari ini sangat dipicu oleh penggunaan TikTok. Lewat konsumsi melalui aneka media digital ini, timbul rasa terpenuhinya kebutuhan yang menyenangkan, sebagaimana uraian di atas.
Diketahui, dopamin merupakan kimia otak yang bertanggung jawab pada keadaan emosi seseorang, rasa senang maupun sakit pada mental.
Material kimiawi ini, sesungguhnya tak beda dari bahan sejenis yang diproduksi otak, saat berlangsungnya kegiatan perjudian maupun konsumsi narkoba. Maka tak berlebihan, memandang keadaan ini ilmuwan augmented reality, Jaron Larnier dalam bukunya Ten Arguments for Deleting Your Social Media, yang terbit tahun 2020 menyebutkan, kecanduan yang ditimbulkan sosial media, sesungguhnya adalah kecanduan sebagaimana penyalahgunaan narkotika.
Penyalahgunaan narkotika melangar hukum di banyak negara. Namun mengapa pada kecanduan yang ditimbulkan oleh media digital, justru negara melegalkannya?
Lebih lanjut uraian tentang keterkaitan antara kimia otak dengan pemanfaatan media digital ini, dapat diikuti pada artikel yang ditulis Shikha Shah, 2020 dengan judul “A Digital Detox: Here’s How Social Media Affects Your Hormones”.
Cara kerja munculnya kecanduan akibat penggunaan media digital, dapat dilacak melalui produksi dan distribusi konten, katakanlah berupa unggahan foto di media digital.
Ini memicu diproduksinya dopamin dalam waktu singkat, akibat respon baik orang lain atas unggahan itu: pemberian like, komentar pujian, regram, retweet maupun repost.