Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Kekerasan yang (Bisa) Berujung Kematian
Pelaku cenderung mengulang perilaku jahatnya, dengan intensitas yang berlipat. Ini bahkan berakhir dengan pembunuhan. Salah satunya, dapat diikuti pada artikel Jacob Ryan, 2022, yang berjudul “Red Flag and Repeat Offenses: A Woman’s Death Shines Light on Cracks in City’s Domestic Violence Response”.
Ryan menceritakan pertengkaran yang dialami pasangan Christopher Gordon dan Angelica James, warga Louisville Amerika Serikat.
Pertengkaran terus berulang dan James kerap mengalami kekerasan. Sayangnya ketika pertengkaran akhirnya selesai, itu akibat kematian James, juga putranya yang terluka. Ini lantaran tembakan yang dilepaskan Gordon, saat pertengkaran berlangsung.
Cerita tentang Gordon dan James, diperkuat catatan kepolisian tempat menangani perkaranya. Kasus KDRT nyata, makin mendominasi jenis kejahatan di kota itu.
Di tahun 2020-an, setidaknya 8 dari 54 pembunuhan terjadi akibat KDRT. Angka itu naik drastis, dibanding tahun 2010-an.
Pada dekade itu terjadi 93 pembunuhan dari 51.640 peristiwa KDRT. Ini artinya 1 pembunuhan untuk 555 KDRT yang dilaporkan.
Semua kekhawatiran netizen memang punya dasar. Namun tak dapat ditampik, korban KDRT sering berada dalam posisi tak punya pilihan, kecuali memaafkan dan mengimpikan perbaikan hubungan.
Melihat dari Sudut Pandang Berbeda
Untuk memahami hal ini, dapat dirujuk sebuah penjelasan dari teori yang sering disebut sebagai Social Exchange Theory (SET).