Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Perbincangan di dunia media sosial Indonesia satu bulan belakangan, diwarnai keresahan sebagian warganya.
Keresahan bersumber rentetan peristiwa yang dialami Lesti Kejora, pesohor yang jadi kecintaan banyak kalangan.
Beberapa saat lalu diberitakan, Sang Pesohor mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pelakunya, suaminya sendiri, Rizky Billar.
Dari informasi yang beredar, dan foto-foto yang menampilkan Lesti, luka yang dialaminya cukup parah.
Bersumber cerita Lesti maupun keluarganya, ini terjadi akibat dicekik dan dibanting pasangan hidup yang baru menikahinya, belum terlampau lama. Tuduhan itu, dengan keras ditampik Billar lewat pengacaranya.
Tak dapat dihindari kegeraman netizen menumpuk, serta merta pembelaan pengacara dianggap omong kosong. Ini seiring beredarnya video maupun cerita kekerasan lain yang dialami Sang Pesohor.
KDRT yang dialami Lesti bukan yang pertama kali.
Berdasar laporan dan persyaratan bukti sebagai korban, polisi bertindak. Pelaku kekerasan dipanggil, diperiksa dan kemudian ditahan, untuk keperluan pemeriksaan lebih lanjut.
Kabar yang kemudian beredar di berbagai media, menampilkan Billar dalam status tahanan. Lengkap dalam seragam warna oranye, yang lazim dikenakan orang dalam status tahanan.
Baca Juga: Putuskan Berdamai, Ini Fakta Kasus KDRT Rizky Billar atas Lesti Kejora
Sorak dan Kecam Netizen
Tentu kabar yang beredar ini ditimpali komentar khas netizen: pedas tanpa belas. Sebagian jadi dukungan bagi Sang Pesohor. Sebagian lainnya bernada lega, awal diberikannya tindakan setimpal atas kejahatan rumah tangga yang terjadi.
Namun tak perlu terlalu lama Billar mendekam dalam ruang tahanan, Lesti mencabut laporannya. Ini jadi tanda dimaafkannya semua derita yang menimpa, berikut perdamaian antara pelaku dengan korban. Mulai lagi dari nol, semua ada kesempatan kedua.
Pencabutan dilakukan korban, demi kepentingan anak yang membutuhkan kelengkapan pengasuhan kedua orang tuanya. Demikian kurang lebih argumentasi Lesti.
Netizen marah, menyesali, menganggap keputusan yang dipilih Lesti terlalu pemurah.
Persoalan domestik yang sejatinya terisolasi dari campur pendapat publik, berkembang jadi urusan banyak orang. Ini selain korbannya pesohor, peristiwanya kerap tak memperoleh penanganan serius. Netizen semata mengkhawatirkan korban, setidaknya tak ingin menyaksikan kekerasan terulang.
Pernyataan netizen tampil dalam berbagai wujud, mulai cerita nyata sebagai korban hingga pandangan yang dianggap ilmiah.
Andien Aisyah lewat beberapa tweet-nya, mengungkap rangkaian kekerasan berulang, yang dialaminya. Semua memperkuat argumentasi kekhawatiran.
Sesungguhnya komentar netizen itu, bukan tanpa alasan. Berbagai studi menyebut KDRT sebagai kejahatan kambuhan.
Baca Juga: Kekerasan Bisa Terulang, Ini Arti Fase Bulan Madu Semu dalam KDRT
Kekerasan yang (Bisa) Berujung Kematian
Pelaku cenderung mengulang perilaku jahatnya, dengan intensitas yang berlipat. Ini bahkan berakhir dengan pembunuhan. Salah satunya, dapat diikuti pada artikel Jacob Ryan, 2022, yang berjudul “Red Flag and Repeat Offenses: A Woman’s Death Shines Light on Cracks in City’s Domestic Violence Response”.
Ryan menceritakan pertengkaran yang dialami pasangan Christopher Gordon dan Angelica James, warga Louisville Amerika Serikat.
Pertengkaran terus berulang dan James kerap mengalami kekerasan. Sayangnya ketika pertengkaran akhirnya selesai, itu akibat kematian James, juga putranya yang terluka. Ini lantaran tembakan yang dilepaskan Gordon, saat pertengkaran berlangsung.
Cerita tentang Gordon dan James, diperkuat catatan kepolisian tempat menangani perkaranya. Kasus KDRT nyata, makin mendominasi jenis kejahatan di kota itu.
Di tahun 2020-an, setidaknya 8 dari 54 pembunuhan terjadi akibat KDRT. Angka itu naik drastis, dibanding tahun 2010-an.
Pada dekade itu terjadi 93 pembunuhan dari 51.640 peristiwa KDRT. Ini artinya 1 pembunuhan untuk 555 KDRT yang dilaporkan.
Semua kekhawatiran netizen memang punya dasar. Namun tak dapat ditampik, korban KDRT sering berada dalam posisi tak punya pilihan, kecuali memaafkan dan mengimpikan perbaikan hubungan.
Melihat dari Sudut Pandang Berbeda
Untuk memahami hal ini, dapat dirujuk sebuah penjelasan dari teori yang sering disebut sebagai Social Exchange Theory (SET).
Baca Juga: Ini 16 Bentuk Kekerasan Seksual Menurut Aturan Baru Kementerian Agama
Teori ini merupakan penjelasan berlatar belakang psikologi dan sosiologi, namun sering digunakan dalam analisis-analisis di bidang komunikasi.
Tercatat sebagai penggagas SET adalah para psikolog sosial maupun sosiolog Amerika. Mereka di antaranya, John W Thibaut, Harold H. Kelley, George Homans, Peter M. Blau, Richard Marc Emerson dan Claude Levi-Strauss.
Penjelasannya memfokuskan pada bertahan tidaknya suatu hubungan, dilihat dari perbandingan-perbandingan yang dilakukan para pelakunya.
Bentuk hubungan mulai saling menyapa rutin di kedai fast food, perkawanan, persahabatan, hubungan bisnis, hingga percintaan maupun rumah tangga.
Akibat perbandingan yang dilakukan, para pelaku hubungan seakan menjalani aktivitas dengan penilaian matematis. Teori ini nampak “me-matematika-kan” hubungan.
Pada dasarnya manusia adalah mahluk rasional. Pilihan-pilihan hidupnya sering dituntun oleh refleks-refleks yang mengarah pada tindakan yang memaksimalkan penghargaan, sekaligus meminimalkan pengorbanan.
Dijelaskan SET, pelaku di tahap pertama hubungannya, membandingan keuntungan yang diterima dari hubungan yang dijalaninya. Tahap ini disebut sebagai comparison level (CL).
Pada CL, pengorbanan dibandingkan dengan penghargaan yang diperoleh. Tentu dasar perbandingannya adalah persepsi pelaku hubungan.
Baca Juga: Hari Tanpa Kekerasan Internasional, Ini Bahaya Kekerasan Fisik terhadap Perempuan
Tidak ada ukuran obyektif untuk memperoleh nilai umum.
Manakala penghargaan dipersepsi lebih besar dari pengorbanan yang dilakukan, hubungan akan berlanjut. Demikian pula mitra relasi akan mempertahankan hubungan, ketika juga merasakan penghargaan yang setimpal.
Seorang mahasiswa yang rajin mendengarkan penjelasan dosennya, dapat berkawan dengan mahasiswa pemalas yang tak memperhatikan perkuliahan.
Namun mahasiswa rajin merasa memperoleh penghargaan, lantaran tiap kuliah berakhir ia menikmati tumpangan pulang dengan mobil mahasiswa pemalas. Sedangkan mahasiswa pemalas bersedia terus memberikan tumpangan pada mahasiswa rajin, lantaran dia memperoleh salinan catatan perkuliahan.
Namun kestabilan hubungan berubah, manakala persepsi berubah. Seorang pemuda yang di masa PDKT boleh mengantar pasangan yang diincarnya ke tempat belanja, mempersepsi izin mengantarkan sebagai penghargaan.
Namun pada hubungan yang makin rekat, izin mengantar belanja dipersepsi sebagai pengorbanan belaka. Bahkan beban.
Hubungan yang kian berkembang, perlu aneka bentuk penghargaan baru. Dalam posisi ini, manakala pengorbanan dipersepsi lebih besar dari penghargaan, diramalkan hubungan bakal berakhir.
Namun semua matematika itu, baru ramalan. Di tahap kedua, pelaku hubungan mengevaluasi kembali aktivitas yang dijalaninya. Akan berakhir atau dilanjutkannya hubungan, dilakukan perbandingan lain.
Perbandingan alternatif, seandainya hubungan tak berlanjut. Ini disebut comparison level of alternatif (CLAlt).
Baca Juga: Hindari Debat, Ini 4 Ucapan untuk Meredam Konflik dalam Hubungan
Pada CLAlt, pelaku hubungan mengimajinasikan, seandainya hubungan berakhir, apa alternatif yang bakal diperoleh? Apakah keadaan dirinya lebih baik atau justru sebaliknya?
Kembali pada kasus KDRT di atas, di tahap pertama evaluasi, CL yang diperoleh korban dipersepsi sebagai pengorbanan yang lebih besar dari penghargaan yang diterima.
Tindakan KDRT boleh jadi, telah dialami berulang. Korban memutuskan mengakhiri hubungan. Bahkan memperkuatnya dengan laporan pada polisi.
Namun di tahap CLAlt, korban membandingkan hubungan yang berakhir dengan alternatif kehidupan pasca diakhirinya hubungan.
Hasilnya, hubungan pernikahan yang berakhir dengan perceraian mengakhiri pula statusnya sebagai istri. Dirinya kembali seorang diri. Anak hasil pernikahan juga harus diasuh sendiri.
Bagi sebagian orang, dua keadaan mendasar ini bukan perkara ringan. Keadaan alternatif yang bakal dijalani, dipersepsi lebih buruk dari pilihan tetap mempertahankan hubungan.
Terlebih ketika pasangan, pelaku KDRTnya, memohon maaf seraya berjanji tak akan mengulangi perbuatannya. Yang terlihat korban, justru mempertahankan hubungan lebih baik daripada ketakpastian dari keadaan alternatifnya.
Pertengkaran berakhir, perdamaian ditempuh. Toh, banyak rumah tangga lain yang diwarnai pertengkaran tapi berlanjut baik-baik saja. Ini semua pertimbangan rasional yang perlu dipahami. Sisanya, adalah netizen yang geram.
@cerita_parapuan Boikot? Ini tentang KDRT menurut kami, kalau menurut kamu? #kdrt #kekerasanan #kekerasanwanita #kdrtlesti #lesti_kejora #lesti_billar ♬ Scott Street (Slowed Down) - Phoebe Bridgers
Baca Juga: Dugaan Kekerasan Rizky Billar terhadap Lesti Kejora, Ini 4 Dampak KDRT bagi Korban
Apa yang Bisa Dilakukan Netizen? Apa yang Bisa KITA Lakukan?
Di tahap CLAlt, idealnya netizen jika memang serius dengan kegeramannya, harus mampu membangun alternatif pandangan virtual yang lebih baik dibanding ketegasan korban untuk mengakhiri hubungan.
Apa itu bentuknya? Justru itulah yang harus dipikirkan netizen dengan serius.
Tak cukup hanya geram dan menguraikan argumen-argumen, bahkan yang ilmiah namun bersifat abstrak.
Apa yang dirasakan korban adalah keadaan nyata, sehingga pilihan-pilihan alternatifnya, juga harus nyata lebih baik daripada mengakhiri hubungan. (*)