Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Francis Fukuyama (2018) dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment menuliskan, kurun waktu saat ini merupakan berkembangnya sebuah ideologi baru yang memandang identitas multikultural sebagai penghormatan terhadap keragaman budaya.
Politik identitas yang dulunya dipandang sebagai suatu masalah sehingga mengakibatkan perpecahan, kini menjadi salah satu upaya bagi kelompok minoritas untuk melawan narasi-narasi kepatutan politik yang membungkam suara dan partisipasi mereka di ruang publik.
Demokrasi modern, terutama di era digital, tak lagi berkisar tentang kehendak mayoritas seperti yang tertuang dalam doktrin demokrasi klasik (Joseph A. Schumpeter: Capitalism, Socialism, and Democracy, 2008).
Demokrasi modern adalah tentang pencapaian kesetaraan untuk berpartisipasi lewat jabatan publik.
Kesetaraan tersebut meliputi antara lain kesetaraan rasial, kesetaraan gender, kesetaraan bagi penyandang disabilitas, hingga kesetaraan bagi mereka yang memiliki preferensi sosial-politik berbeda.
Ruang kesetaraan dalam partisipasi publik ini baru bisa tercapai apabila norma-norma ‘kepatutan’ didobrak.
Sebagai contoh, narasi ‘kepatutan’ yang sering dikumandangkan tentang perempuan dan laki-laki adalah adanya prasangka gender yang menyebabkan perempuan dianggap tidak kompeten sebagai seorang pemimpin dan berpartisipasi dalam politik.
Anggapan tersebut disematkan lewat dalih bahwa perempuan cenderung emosional, sehingga tidak memiliki kecerdasan intelektual.
Penggunaan narasi keagamaan dalam melegitimasi tradisi patriarkis juga cenderung melemahkan partisipasi politik perempuan yang seolah menekankan politik dan urusan publik hanya merupakan ranah milik laki-laki.
Baca Juga: Tertarik Terjun ke Dunia Politik? Kenali Peran dan Tanggung Jawab Politikus