Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Kesiapan Indonesia Dipimpin Golongan Marjinal
Meski amanat konstitusi dan undang-undang menjamin siapa pun Warga Negara Indonesia untuk menjadi presiden di Bumi Merah-Putih ini, nyatanya ada semacam konsensus tersembunyi yang menyematkan, hanya laki-laki Jawa yang beragama Islam lah yang dapat menjadi Presiden Republik Indonesia.
Indonesia memang pernah dipimpin oleh satu presiden perempuan, yakni Megawati Soekarnoputri. Namun jalan yang dilaluinya untuk menjadi presiden sangat berliku.
Meski sebagai pemimpin partai pemenang Pemilu 1999, dia dicekal oleh sekelompok pemimpin laki-laki Muslim yang mengharamkan perempuan menjadi presiden (Asvi Warman Adam: “Megawati, Satu-satunya Perempuan Presiden”, Harian Kompas, 28 Desember 2004).
Begitu pula halnya dengan keterwakilan perempuan.
Undang-undang tentang pemilihan umum (pemilu) dan penyelenggaraan pemilu telah mengamanatkan agar representasi perempuan dalam parlemen, kepengurusan partai politik, dan lembaga penyelenggaraan pemilu memenuhi kuota 30%.
Sayangnya hingga saat ini kuota tersebut tetap tak terpenuhi.
Bahkan partai politik kerap menganggap jika perekrutan perempuan dalam aktivitas politik tak lebih dari sekedar pemenuhan syarat administratif agar dapat mengikuti kompetisi pemilihan raya.
Baca Juga: Rahayu Saraswati Sarankan Perempuan Kenali Kekuatan Diri untuk Wujudkan Impian
Akibatnya banyak perempuan yang direkrut tanpa mengedepankan pentingnya kaderisasi politik, atau bahkan merekrut perempuan yang anggota keluarganya sudah lebih dulu menjadi bagian dari elit politik (Cakra Wikara Indonesia: Menghadirkan Kembali Kepentingan Perempuan, 2019).
Dalam menjadi pimpinan di ranah eksekutif pun (sebagai kepala daerah hingga presiden), perempuan dihadapkan pada prasangka gender yang semakin melemahkan posisinya untuk berkompetisi menjadi pemimpin.
Surat An-Nisa ayat 34 dan Hadis dari Abu Bakrah tentang kepemimpinan Putri Kisra sering dijadikan dalil favorit para pendukung tradisi patriarki untuk mendelegitimasi keterlibatan perempuan dalam aktivitas politik, utamanya berkompetisi sebagai pemimpin.
Tentunya ini memberikan preseden buruk dan semakin menguatkan anggapan ketidakcakapan perempuan dalam berpolitik.
Padahal kepemimpinan dan kecakapan berpolitik sama sekali tak ada hubungannya dengan jenis kelamin atau gender, melainkan dari ekosistem lingkungan yang menumbuhkan kematangan berpolitik seseorang.
Perempuan, sebagai kelompok yang kerap dimarjinalkan oleh sistem sosial-budaya-politik, harus dibiarkan tumbuh dalam ekosistem yang mendukung peran, keterlibatan, dan partisipasinya dalam ruang publik, terutama di sektor politik.
Berpolitik bukan privilase laki-laki semata, melainkan juga perempuan.
Esensi dari politik adalah keterlibatan segala pihak untuk mengedepankan kepentingan kelompoknya.
Dalam hal perempuan, berpolitik adalah kebutuhan absolut agar perempuan bisa menciptakan kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan khusus perempuan.
Mencekal perempuan berpolitik, sama dengan menghancurkan nilai-nilai demokrasi modern yang menjunjung tinggi diversitas dan kesetaraan! (*)