Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Yang pertama, kesediaan instrumen politik yang mewadahi mereka, seperti partai dan jajaran elit, untuk memberikan kesempatan yang setara bagi semua anggota dalam berkompetisi meraih jabatan politik tertinggi, seperti menjadi calon presiden/wakil presiden atau perdana menteri.
Kesediaan ini tidak hanya demi memenuhi tuntutan administratif yang mengharuskan adanya representasi kelompok tertentu dalam politik (yang biasanya diatur lewat ketentuan tindakan afirmatif), melainkan memang kebesaran hati para pemangku kepentingan politik untuk menampilkan kepentingan kaum marjinal yang selama ini tak terdengar.
Faktor kedua adalah kesadaran masyarakat dalam melawan isu-isu intoleransi dan prasangka tertentu terhadap kelompok marjinal.
Masyarakat merupakan elemen terpenting bagi keberhasilan kelompok marjinal untuk memenangkan jabatan publik, sebab masyarakat lah yang memilih mereka pada saat pemilihan umum.
Masyarakat pula yang turut serta menciptakan kampanye atau menggalang gerakan sipil seperti turun ke jalan dalam mendukung kepentingan-kepentingan kelompok marjinal sehingga menjadi perhatian publik.
Ketika masyarakat sendiri telah terlepas dari sentimen negatif yang dilekatkan kepada kelompok marjinal, serta hanya fokus pada track record dan pencapaian-pencapaian sang kandidat, dapat dikatakan jika masyarakat telah mencapai kematangan berpolitik (W.W. Rostow: Politics and the Stages of Growth, 2009).
Baca Juga: Profil Rieke Diah Pitaloka, Dari Selebriti Banting Setir Jadi Politisi
Terakhir, adalah peran media sebagai corong yang memberikan ekspos positif kepada kaum marjinal dalam menunjukkan kepantasan diri mereka untuk menduduki jabatan publik tertinggi.
Sebagai salah satu medium rujukan informasi dan pembentukan opini publik, informasi yang disiarkan oleh media sangat signifikan bagi para elit politik dan masyarakat untuk melakukan rekrutmen politik.
Media pun harus memberikan porsi pemberitaan seluas-luasnya dan sebesar-besarnya agar semakin banyak pihak, apalagi yang selama ini menjadi bagian dari golongan minoritas, dapat terjaring dan tampil menjadi figur alternatif dari calon pemimpin yang itu-itu saja.