Padahal, pasca pemaksaan perkawinan korban justru beresiko kembali mendapatkan kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran dalam lingkup rumah tangga.
Dengan demikian, tindakan mengawinkan korban dengan pelaku perkosaan selain hanya meneguhkan impunitas pelaku juga menjerumuskan perempuan korban perkosaan dalam rantai kekerasan.
Situasi inilah yang mendorong Komnas Perempuan bersama masyarakat sipil mendesakkan agar tindakan mengawinkan perempuan korban dengan pelaku kekerasan sebagai sebuah tindak pidana.
Desakan ini telah diakomodir dalam UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pada Pasal 10.
Walau UU TPKS berlaku per 09 Mei 2022 dan tidak dapat menjangkau peristiwa pemaksaan perkawinan dalam kasus ini, namun hak perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi tetap melekat.
Sehingga, pemulihan yang menyeluruh atas tindak pemaksaan perkawinan itu harus dipenuhi oleh negara.
Berdasarkan rilis yang PARAPUAN terima, Komnas Perempuan menyatakan sikap berikut terkait kasus kekerasan seksual ini:
1. Mendukung dan menyampaikan solidaritas terhadap Korban dan Keluarga Korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.
2. Menghormati langkah Kementerian Koperasi dan UKM yang membentuk Tim Independen untuk menyelidiki kasus ini.
Baca Juga: Ungkap Kasus Kekerasan Seksual di Kemenkop UKM, Situs Konde Sempat Tak Dapat Diakses