Ini Sikap Komnas Perempuan Terkait Kasus Kekerasan Seksual Pegawai Kemenkop UKM

Alessandra Langit - Senin, 31 Oktober 2022
Pernyataan Komnas Perempuan terkait kekerasan seksual pegawai Kemenkop UKM
Pernyataan Komnas Perempuan terkait kekerasan seksual pegawai Kemenkop UKM Freepik

Parapuan.co - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) angkat bicara terkait kasus kekerasan seksual di Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM).

Komnas Perempuan menyesalkan berulangnya praktik pemaksaan perkawinan antara korban dengan pelaku perkosaan dan dihentikannya proses hukum oleh pihak kepolisian.

Penyelesaian kasus yang menimpa pegawai Kemenkop UKM ini menunjukkan bahwa kekerasan berlapis yang dialami korban yaitu perkosaan, pemaksaan perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan di dunia kerja.

Pemaksaan perkawinan yang kemudian menjadi alasan dilakukannya penyelesaian melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) justru menjauhkan korban dari akses atas keadilan dan pemulihan.

Selain itu, mekanisme tersebut menempatkan korban pada situasi kekerasan, menyebabkan impunitas pada pelaku dan menormalkan kekerasan seksual.

Pemaksaan perkawinan adalah jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan.

Kasus pemaksaan perkawinan juga sering dialami oleh perempuan korban kekerasan seksual yang tujuannya adalah untuk menutupi aib kedua keluarga.

Modus perkawinan ini karena korban dan keluarga korban terpojokkan dengan beban menanggung stigma aib akibat perkosaan itu.

Di sisi lain, karena posisi korban yang subordinat sebagai perempuan maupun anak perempuan terpaksa mengikuti keputusan yang diambil oleh keluarga dengan alasan nama baik.

Baca Juga: Kasus Kembali Viral, Ini Kronologi Kekerasan Seksual Pegawai Kemenkop UKM

Padahal, pasca pemaksaan perkawinan korban justru beresiko kembali mendapatkan kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran dalam lingkup rumah tangga.

Dengan demikian, tindakan mengawinkan korban dengan pelaku perkosaan selain hanya meneguhkan impunitas pelaku juga menjerumuskan perempuan korban perkosaan dalam rantai kekerasan.

Situasi inilah yang mendorong Komnas Perempuan bersama masyarakat sipil mendesakkan agar tindakan mengawinkan perempuan korban dengan pelaku kekerasan sebagai sebuah tindak pidana.

Desakan ini telah diakomodir dalam UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pada Pasal 10.

Walau UU TPKS berlaku per 09 Mei 2022 dan tidak dapat menjangkau peristiwa pemaksaan perkawinan dalam kasus ini, namun hak perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi tetap melekat.

Sehingga, pemulihan yang menyeluruh atas tindak pemaksaan perkawinan itu harus dipenuhi oleh negara.

Berdasarkan rilis yang PARAPUAN terima, Komnas Perempuan menyatakan sikap berikut terkait kasus kekerasan seksual ini:

1. Mendukung dan menyampaikan solidaritas terhadap Korban dan Keluarga Korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.

2. Menghormati langkah Kementerian Koperasi dan UKM yang membentuk Tim Independen untuk menyelidiki kasus ini.

Baca Juga: Ungkap Kasus Kekerasan Seksual di Kemenkop UKM, Situs Konde Sempat Tak Dapat Diakses

Komnas Perempuan juga merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh kemungkinan peristiwa serupa terjadi dalam kegiatan lainnya.

Selain itu, menyusun kebijakan internal untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan kerja sebagai bagian dari pelaksanaan UU TPKS untuk membentuk lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.

3. Mendukung upaya hukum praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan untuk memberikan ruang dibukanya kembali proses penyidikan kasus ini.

SP3 sendiri merupakan surat pemberhentian yang diterbitkan penyidik dari pihak kepolisian untuk menghentikan pengusutan suatu kasus.

SP3 dikeluarkan penyidik setelah seseorang ditetapkan menjadi tersangka kasus tindak pidana.

4. Merekomendasikan kepada Kapolri untuk melakukan kaji ulang pada kebijakan Penyelesaian Perkara Melalui Keadilan Restoratif yang tidak mempertimbangkan kekhususan kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan.

Kapolri juga diharapkan melengkapinya dengan pedoman untuk penyelidikan dan penyidikan kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) dengan mengacu pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Sehingga, aturan tersebut lebih memampukan akses keadilan dan pemulihan bagi perempuan korban, khususnya korban perkosaan.

5. Menghimbau media dan masyarakat untuk terus mendukung korban dan keluarga korban, di antaranya dengan tidak membebani korban dengan stigma aib.

Kawan Puan, itu dia lima pernyataan resmi Komnas Perempuan terkait kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja Kemenkop UKM.

Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Transparansi dalam Pembahasan RUU KUHP

(*)



REKOMENDASI HARI INI

3 Tips Manfaatkan Uang Pesangon PHK Jadi Modal untuk Wirausaha