Parapuan.co - Belum lama ini, terdapat berbagai tragedi yang terjadi di sejumlah acara baik di dalam maupun luar negeri.
Sebut saja penyelenggaraan konser NCT 127 di ICE BSD pada Jumat (4/11/2022) lalu yang terpaksa dihentikan lebih awal akibat 30 penonton pingsan, setelah para penonton saling dorong hingga merobohkan pagar pembatas.
Kepadatan jumlah penonton yang melebihi kapasitas juga terdapat di festival musik Berdendang Bergoyang yang digelar di Istora Senayan, Jakarta.
Sejumlah penonton pingsan akibat berdesakan yang akhirnya membuat acara tersebut dihentikan saat masih berlangsung.
Tak luput juga tragedi Halloween di Itaewon, Korea Selatan yang menewasjan 156 orang karena terinjak-injak massa.
Serta tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang yang menewaskan 133 orang meninggal dunia karena kehabisan napas dan terimpit massa yang panik akibat gas air mata.
Manager Program S1 Event Universitas Prasetiya Mulya, Hanesman Alkhair, mengatakan, saat ini para pelaku industri event organizer ditantang untuk terus berkreasi menjawab keinginan market yang mulai bangkit pasca-pandemi Covid-19.
“Di sisi lain, mereka juga harus lebih bersikap hati-hati dan teliti dalam menerapkan manajemen massa, terutama untuk penyelenggaraan acara yang melibatkan khalayak dalam jumlah besar,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima PARAPUAN.
Hanes berujar, tingginya antusiasme masyarakat dalam menghadiri perhelatan tidak terlepas dari dampak pandemi yang hadir selama hampir dua tahun.
Baca Juga: Skills yang Dibutuhkan untuk Jadi Promotor Konser, Salah Satunya Multitasking
Karenanya, situasi ini harus diperhatikan oleh para event organizer untuk ke depannya.
“Situasi pandemi telah membentuk kebiasaan manusia baru, yang kemudian membentuk karakteristik massa yang baru pula," ujar Hanes.
Selain itu, pola konsumsi media sosial dan penggunaan gawai juga penting untuk diperhatikan.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan para crowd scientist internasional, terlihat bahwa pola penggunaan gadget ini telah membentuk massa yang cenderung tidak awas terhadap situasi.
“Semua orang memakai ponsel pintar, tak terkecuali saat mereka mendatangi suatu acara keramaian.
"Perilaku orang-orang yang terlalu fokus dengan gadget, membuat mereka bisa kurang waspada terhadap situasi sekitar,” ujar Hanes.
Antisipasi Kepadatan dan Pergerakan Massa
Terkait dengan perubahan dan animo masyarakat dalam lokasi acara, terdapat penyesuaian yang harus dilakukan oleh event organizer.
Baca Juga: Peluang Karier yang Bisa Didapat dari Pengalaman sebagai Promotor Konser
Hans berujar, event organizer harus mengantisipasinya dengan membuat skenario massa yang sesuai standar dan detail.
Masih merupakan skenario massa, manajemen risiko harus dipersiapkan dengan matang dengan memperhatikan 2 hal, yakni antisipasi terhadap density alias kepadatan massa serta sudden movement atau pergerakan tiba-tiba.
“Dua hal ini merupakan titik kritis yang bisa membuat sebuah acara menjadi tidak kondusif, sehingga perlu diantisipasi oleh seluruh stakeholders acara seperti event organizer, aparat keamanan, dan sebagainya,” kata Hanes.
Agar kepadatan massa tidak muncul, diperlukan alur pergerakan pengunjung dengan sedemikian rupa.
Misalnya, pemisahan antrean, penyekatan area penonton di sebuah acara festival atau konser musik.
Selain itu, tempatkan lebih banyak petugas keamanan di titik-titik yang rawan terjadi kepadatan.
“Perlu ada pengaturan khusus agar tidak terjadi desak-desakan pada pengunjung,” ujarnya.
Sementara itu, pergerakan massa yang tiba-tiba disebabkan oleh hal yang menarik perhatian khalayak, seperti kericuhan, hujan, atau informasi yang menarik perhatian.
Sebagaimana dicontohkan, kepadatan massa di Itaewon terkait dengan informasi adanya seorang pesohor di salah satu kafe di daerah terkait.
Pergerakan tiba-tiba itulah yang menimbulkan kepadatan.
Jika masyarakat cenderung lebih memperhatikan gadget, ini bisa menyebabkan kepanikan saat desak-desakan sehingga orang-orang kesulitan keluar dari kerumunan tersebut.
(*)